Livestockreview.com, Opini. Tidak satu pun RPH yang dikelola pemerintah bersedia diaudit oleh MUI. Hal ini berbeda dari RPH swasta yang hampir semua bersertifikat halal.
Masalah halal terkait dengan tata cara pemotongan hewan konsumsi menjadi sorotan. Hal itu dipicu tayangan televisi di negara itu pada 30 Mei 2011 yang memperlihatkan tindakan tidak islami terhadap sapi potong, yang kebetulan sebagian diimpor dari Benua Kanguru. Tayangan itu memperlihatkan petugas rumah pemotongan hewan (RPH) negara kita tidak mengindahkan aturan pemotongan hewan secara islami, sebagaimana difatwakan MUI.
Sebagian orang Australia juga mengaitkan dengan tata cara internasional, di antaranya sapi yang disembelih harus mati dalam waktu 30 detik. Faktanya di Indonesia hewan yang disembelih masih menggelepar lebih dari 3 menit.
Dalam tayangan televisi itu, sebagaimana dikutip media cetak nasional terlihat ada petugas RPH menendang kepala, menekuk ekor sapi, dan sebagainya, yang oleh sebagian orang Australia dianggap tidak manusiawi.
Adapun sebagian umat Islam Indonesia berpandangan tindakan petugas jagal itu, meski tempat kerjanya menerapkan standar kehalalan, tidak mengindahkan aturan Islam. Mungkin baginya yang penting: hewan yang dijagal akhirnya mati.
Hal itu tentu pukulan bagi MUI yang selama ini merintis jalan agar Indonesia menjadi center of excellence lantaran faktanya kita tidak sanggup menjadi pengawal efektif bagi kehalalan hewan sembelihan, paling tidak dalam cara pemotongannya. Praktik itu, juga merusak citra Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, termasuk di daerah, yang selama ini menjadi rujukan sejumlah negara dalam soal halal.
Masalah itu harus menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah dan MUI yang harus mengawasi efektivitas pelaksanaan fatwa tersebut. Selain itu, perlu meningkatkan pengawasan terhadap petugasnya sendiri, karena saya mendengar, ada petugas MUI ketika mengaudit hanya datang untuk minta data dari perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikat halal. Kekurangtelitian itulah menyebabkan munculnya kasus dendeng babi bersertifikat halal MUI, beberapa waktu lalu.
Sertifikat Halal
Terkait dengan RPH pemerintah, Direktur LPPOM MUI beberapa waktu lalu ketika mengungkapkan bahwa tidak satu pun dari RPH yang dikelola pemerintah bersedia diaudit oleh MUI. Hal ini berbeda dari RPH swasta yang hampir semua bersertifikat halal. Sikap pengelola RPH pemerintah melahirkan pertanyaan, mengapa enggan mengajukan permohonan untuk sertifikasi halal.
Terkait dengan pemberitaan televisi di Australia itu, saya tidak bisa menyatakan hal itu rekayasa, karena saya mempunyai petunjuk ke arah itu. Ceritanya pada Idul Adha tahun lalu, saya diminta oleh tetangga yang menjadi ketua panitia kurban ikut mengawasi penyembelihan.
Sebelum pemotongan, saya tanya si jagal mengenai tata caranya dan dia menjawab singkat,’’ Saya sudah biasa, Pak’’. Mungkin merasa terbiasa memotong hewan di RPH, ia menganggap saya tidak perlu menanyakan hal itu lagi. Namun saya kaget ketika dia merobohkan sapi begitu saja dan mengambil pisau kecil untuk menyembelihnya.
Melihat hal itu, saya minta agar sapi yang kedua jangan dipotong dulu. Tatkala saya masih berdiskusi dengan ketua panitia, sapi yang kedua sudah dirobohkan oleh si jagal dan dipotong dengan cara sama. Jika pada acara penyembelihan hewan kurban yang disaksikan banyak orang itu ada praktik tidak islami, bagaimana tindakan di RPH yang tidak ‘’ditonton’’ publik? Saya mengamini bahwa di RPH banyak terjadi tindakan kejam. MUI memfatwakan bila sapi digelonggong maka dagingnya haram, lantas bagaimana dengan daging hewan yang penyembelihannya seperti itu?
Karena itu, selain harus bersedia diaudit kehalalannya, RPH harus mempekerjakan jagal yang mengerti hukum Islam dalam memperlakukan hewan potong, dan bukan petugas yang asal bisa membuat sapi mati. Ulama harus menyadarkan tentang kehalalan hewan sembelih agar masyarakat juga harus sadar bahwa halal merupakan bagian dari keberagamaan. follow our twitter: @livestockreview
suara | mahmudi asyari, peneliti dari icis jakarta