Livestockreview.com, Opini. Polemik seputar susu formula sepertinya masih akan terus menyisakan misteri. Meski Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih dengan didampingi Kepala Badan POM Kustantinah dan Rektor IPB Herry Suhardiyanto sudah menyatakan bahwa seluruh merek susu yang beredar di Indonesia, baik produksi dalam negeri ataupun impor aman untuk dikonsumsi. Karena hasil penelitian ulang yang dilakukan oleh Balitbang Kemenkes tidak ditemukan adanya bakteri Sakazaki. Hasil penelitian ulang ini terasa janggal.
Selain sarat kepentingan politik tampaknya sekadar memenuhi tenggat instruksi MA untuk mengumumkan data susu formula bermasalah. Karena kita bersama, Kemenkes diwajibkan segera mengumumkan daftar susu formula bermasalah, melalui putusan Mahkamah Agung terhadap kasasi David Tobing kepada tiga pihak yakni: Badan Pengawas Obat dan Makanan, Institut Pertanian Bogor dan pihak Menteri Kesehatan.
Apalagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi peringatan kepada ketiga institusi tersebut untuk segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang dituangkan di dalam surat penetapan tertanggal 11-April-2011 dan ditandatangani oleh ketua PN Jakarta Pusat Syahrial Sidik SH. Ancaman hukuman pidana terhadap siapa saja yang menutupi atau menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, seperti yang diatur dalam UU No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, pasal: 52.
Menkes periode sebelumnya (Siti Fadhilah Supari) telah menolak mengumumkan daftar susu formula yang terkontaminasi Sakazaki. Maka, produk riset ulang yang dilakukan oleh Balitbang Kemenkes ini terasa ada insinuasi politik. Apalagi dengan kehadiran Rektor IPB di acara publikasi tersebut. Yang menjadi sesuatu yang sangat lucu, di dalam teknik sampling membandingkan produk riset pada periode waktu yang berbeda.
Menjadi pertanyaan besar bagi publik adalah merek susu apa saja yang terkontaminasi oleh bakteri Sakazaki dan telah dikonsumsi oleh bayi dan balita pada periode ketika tim riset IPB mempublikasikan temuannya dan bagaimana solusinya agar bayi dan balita yang sudah terlanjur mengkonsumsi produk susu tersebut tidak mengalami efek jangka panjang? Implikasi semua itu ternyata jauh lebih luas daripada yang dibayangkan orang selama ini.
Data primer, bukan data pembanding
Karena penggunaan susu formula tidak hanya terbatas pada lingkup bayi, batita ataupun balita tetapi hingga ke jenjang usia yang lebih tinggi. Masyarakat kemudian bertanya-tanya, apakah susu formula yang diproduksi untuk anak-anak pasca usia balita juga termasuk klasifikasi susu yang terkontaminasi? Bukankah, tuntutan konsumen melalui kasasi David Tobing adalah data primer tim riset IPB, bukan hasil riset pembanding atau riset ulang apalagi periodisasinya dilakukan lebih dari 3 tahun setelah penelitian pertama dilakukan, yang memungkinkan pihak produsen kemudian memperbaiki produknya?
Jika ingin membandingkan hasil riset susu, produk susu dari kurun waktu tahun 2005 misalnya, tentu juga harus dengan produk susu yang diproduksi pada tahun 2005. Begitupun jika ingin membandingkan data riset produk susu pada tahun 2011, juga dengan sampel produksi pada periode yang sama. Apalagi parameter produksi selalu bersifat dinamis, meskipun merek produksinya tetap sama. Dan sebenarnya, agak sangat memprihatinkan juga jika mengasumsikan bahwa sampel yang digunakan oleh tim peneliti IPB dan diambil secara acak dikatakan tidak dapat mewakili seluruh produk, apalagi penelitian dilakukan oleh tim peneliti yang handal.
Penting dipahami, meski bakteri ini dapat tereliminasi pada suhu 72 derajat Celcius namun pola asuh pada sebagian besar masyarakat kita umumnya menyeduh susu formula pada suhu di bawah suhu 50 derajat Celcius. Karena air yang digunakan untuk menyeduh susu tidak dimasak terus menerus hingga mencapai susu didih, tetapi disimpan di dalam termos yang tetap saja tidak akan efektif di dalam menahan panas air agar tidak turun.
Dengan demikian, maka anak-anak dan balita yang diberikan susu formula tersebut (yang bermasalah) sangat potensial terkena radang otak dan radang usus. Sebenarnya inilah tugas utama pihak Kemenkes untuk mengkampanyekan tata cara yang aman di dalam pemanfaatan produk susu formula. Termasuk sebagai upaya preventif untuk mencegah efek destruktif patologis ketika suatu saat ada produk susu bermasalah yang lolos dari kontrol badan POM.
kr | dr Titik Kuntari mph, wakil dekan fakultas kedokteran uii yogyakarta