Livestockreview.com, Referensi. Manusia purba mengandalkan tumbuhan sebagai pangan utama. Namun sejak memiliki kemampuan berburu, mereka mulai mengutamakan sisi pemakan dagingnya. Seiring dengan bergulirnya jaman, konsumsi manusia kembali mengarah ke pangan asal tumbuhan, kala manusia menemukan kemampuan bertani. Ketika manusia mampu melipatgandakan produksi pertanian maka biji-bijian dan kacang-kacangan yang mereka hasilkan melampaui kebutuhan.
Akibatnya, manusia bisa memberi makan ternak piaraannya. Kini, dalam bentuk yang paling ekstrem, budi daya ternak telah menjelma menjadi apa yang oleh Paul Roberts, penulis buku The End of Food, disebut sebagai concentrated animal feeding operations (CAFOs).
Hal itu mengakibatkan bahan pangan hewani tersedia berlimpah melampaui kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah produksi. Inilah yang terjadi di negara-negara penghasil utama daging sapi, seperti Amerika Serikat dan Australia. Saat ini dua negara itu sangat memerlukan pasar ekspor, untuk ”membuang” kelebihan produksi daging.
Pengalaman strategi nutrisi di AS membuktikan bahwa hubungan manusia dan daging sapi pada saat tertentu dapat berubah secara radikal. Pola konsumsi yang melawan lemak (lipophobia) pernah direkomendasikan oleh Komite Senat pada 1977 semasa Presiden Jimmy Carter. Intinya mengurangi konsumsi daging merah.
Namun tahun 2012, konsep nutrisi tahun 1977 itu dijungkirbalikkan. Pola konsumsi yang direkomendasikan mendadak berubah, melawan karbohidrat (carbophobia). Konsumsi daging merah kembali disarankan, dan sebaliknya karbohidrat –dalam hal ini roti– harus dikurangi.
follow our twitter: @livestockreview
sumber: bud1 w1djanarko (suara) | editor: sitoresmi fauzi