Livestockreview.com, Kampus. Protein merupakan zat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagian besar sumber protein didapatkan dari telur dan daging, terutama daging sapi. Tetapi, konsumsi daging sapi per kapitanya masih rendah sekitar 1,87 kg dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia masih memerlukan setidaknya 448.000 ton daging sapi per tahun. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dan sisanya masih berasal dari impor negara lain (Badan Pusat Statistik 2013). Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat dengan bergantungnya negara kita terhadap suplai impor, maka posisi penawaran kita dalam percaturan politik dunia menjadi lebih lemah. Selain itu, impor dari negara lain juga membuka peluang timbulnya penyakit-penyakit ternak yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mencegah hal ini Kementerian Pertanian Indonesia mencanangkan program PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau). Sebelumnya, program ini dicanangkan untuk tahun 2010, tetapi direvisi menjadi tahun 2014.
Pemerintah memiliki suatu kontrak sosial terhadap rakyatnya. Kontrak sosial merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, termasuk juga kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Peningkatan permintaan masyarakat Indonesia akan kebutuhan daging membuat pemerintah harus membuat suatu program khusus atau langkah khusus agar hal tersebut tercapai.
Hal ini mutlak pemerintah lakukan sebagai suatu bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya dalam nama kontrak sosial. Salah satunya yaitu dengan mengeluarkan program swasembada daging.
Swasembada daging sendiri bertujuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan daging masyarakat secara mandiri dan memiliki cadangan yang cukup untuk masa depan. Selain itu, program ini dilaksanakan tidak hanya meningkatkan kuantitasnya saja, tetapi juga meningkatkan kualitasnya. Gagasan ini dilakukan karena persediaan daging masih sedikit tetapi kebutuhan manusia akan daging tidak pernah mencukupi.
Hal ini dikarenakan populasi manusia yang terus meningkat tetapi tidak diikuti dengan meningkatnya populasi ternak, khususnya sapi, yang nantinya akan menghasilkan daging bagi manusia. Oleh karena itu, pemerintah berusaha meningkatkan produksi daging dalam negeri dengan berbagai cara, seperti meningkatkan populasi ternak, membantu peternak gurem dengan memberikan dana melakukan inseminasi buatan, dan masih banyak lagi program yang dilakukan.
Tetapi, dengan usaha yang cukup banyak, produksi daging yang ada sekarang masih belum mencukupi bahkan pernah dibilang sebagai barang ”langka” lantaran produksinya semakin menurun. Akibatnya, harga daging juga sempat melambung sangat tinggi dan hanya kalangan tertentu saja yang dapat mengonsumsinya. Untuk menutupi hal tersebut pemerintah melakukan impor daging dari negara-negara dengan produksi daging melimpah seperti Australia, Selandia Baru, atau Amerika.
Impor daging sendiri memang dapat memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat di Indonesia lantaran kuantitasnya yang cukup banyak di pasaran dan kualitasnya cukup baik dibanding kualitas sapi lokal. Hal ini memungkinkan produksi daging lokal semakin menurun karena kecenderungan masyarakat daging sapi impor yang lebih berkualitas dan murah. Karena masyarakat lebih memilih mengkonsumsi daging impor daripada daging lokal. Jika hal ini terjadi, maka tingkat impor harus ditingkatkan dan membuat produksi daging lokal semakin menurun bahkan masyarakat tidak lagi mengkonsumsi daging lokal.
Oleh karena itu, importasi daging menjadi tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi daging lokal dan menutup keran daging impor dengan cara swasembada daging. Namun peran masyarakat juga sangat diperlukan dalam menjalani program tersebut agar berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang dimaksut. Dengan adanya kepercayaan dan dukungan dari masyarakat untuk pemerintah, maka pemerintah akan serius menjalankan program tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan.
Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat ini bukanlah merupakan suatu dorongan belaka, melainkan suatu tantangan bagi pemerintah. Mengapa? program swasembada daging ini merupakan suatu program yang baik adanya dan masyarakat sangat mendukung keberhasilan dari program ini. Namun, apabila pemerintah gagal melaksanakan atau mewujudkan hal ini tentu saja masyarakat akan menurunkan intesitas kepercayaannya pada pemerintah. Hal ini pasti akan terjadi karena masyarakat berpikir bahwa pemerintah kurang serius atau kapabilitas pemerintah sangat kurang sehingga tidak serius mewujudkan swasembada daging. Tentu saja hal ini akan menjadi suatu tantangan besar bagi pemerintah agar kepercayaan masyarakat tetap besar pada setiap program pemerintah kedepannya.
Untuk mencapai target swasembada daging sapi pada tahun 2014, maka diperlukan perombakan dalam sistem manajemen dan produksi daging sapi di Indonesia. Mahasiswa selaku golongan intelektual dalam masyarakat merupakan “motor” yang tepat untuk memulai perombakan ini. Namun, mahasiswa tidak dapat dilepas langsung ke lapangan tanpa memiliki pengetahuan tentang apa yang harus dibenahi dalam sistem produksi daging sapi di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan media khusus untuk membuka khasanah pengetahuan mahasiswa tentang swasembada daging sapi dan proses-proses yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Pemerintah mencari cara untuk menutup kran impor ini. Sebagai contoh dengan mencanangkan program sarjana membangun desa.
Sarjana yang terpilih ini biasanya sarjana yang memiliki dasar ilmu-ilmu peternakan sehingga ilmu ini dapat diaplikasikan langsung dalam rangka mewujudkan swasembada daging. Sarjana yang membangun desa ini langsung terjun ke dalam masyarakat khususnya di daerah pedesaan dimana ditemukan potensi peternakan. Potensi ini jelas sangat terlihat karena daerah-daerah peternakan sebagian besar adalah daerah pedesaan karena ada beberapa faktor penunjang peternakan di pedesaan, misalnya ketersediaan pakan dan kondisi lingkungan yang kondusif.
Namun kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan. Sarjana dari bidang peternakan cenderung memilih bekerja di bidang bukan peternakan, contohnya hanya satu atau dua persen yang bekerja di peternakan dan sisanya bekerja di perbankan dan bidang lain yang tidak terfokus pada peternakan. Hal ini menyebabkan program sarjana membangun desa yang diperuntukkan bagi keberhasilan swasembada daging menjadi gagal. Sarjana peternakan sendiri memiliki ilmu tentang peternakan yang cukup mendalam. Jika tidak digunakan untuk membantu pemerintah menyukseskan swasembada daging maka swasembada daging 2014 tidak akan terjadi. Di lapangan sendiri yang menjadi pelaku bisnis peternakan adalah orang-orang yang tidak memiliki dasar di bidang peternakan, atau kalaupun memiliki pasti tidak sebesar sarjana peternakan.
Mahasiswa yang turun ke desa secara langsung juga memiliki beberapa masalah yang diaggap menggagalkan program ini. Misalnya, Kejari Temanggung mencatat ada dua kasus penggelapan sebesar Rp363 juta untuk pengadaan sapi belum termasuk pengadaan lainnya, secara total kerugian untuk kasus ini sebesar Rp475 juta (Kompas 2012). Tersangka dalam kasus ini sendiri adalah sarjana yang diturunkan pemerintah untuk membangun desa, namun malah menghancurkan desa dan membuat kerugian yang cukup besar. Kasus ini semakin menguatkan bahwa program Sarjana Membangun Desa tidak efektif untuk membantu program Swasembada Daging 2014.
Terkait adanya program swasembada daging di bawah kementerian pertanian, maka muncul suatu pertanyaan apakah program ini sudah cukup efektif jika di bawah naungan kementerian pertanian. Munculah suatu pertanyaan apakah perlu adanya suatu kementerian peternakan yang secara khusus bekerja dan membuat kebiajakan di bidang peternakan. Kementerian peternakan terkait pentingnya kementerian peternakan ini di masa sekarang demi akselerasi suksesnya swasembada daging maka kementerian peternakan dibutuhkan saat ini juga.
Kalaupun pada status quo sekarang sudah ada direktorat jenderal peternakan di bawah kementerian pertanian, namun hal ini belum cukup. Sifat dari suatu kementerian menjuadi lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan dirjen saja. Hal ini terletak dari sifat birokrasi. Semakin panjang rantaui birokrasi maka akan semakin bnyak waktu yang dipelukan untuk implementasi suatu program atau kebijakan.
Adanya kementerian khusus bidang peternakan maka akan semakin pendek rantai birokrasi untuk eksekusi suatu program atau kebijakan. Secara logika, ketika suatu direktorat jenderal hendak membuat suatu kebijaakan maka akan dilakukan penyusunan, perumusan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi yang harus dimusyawarahkan dahulu sebelum benar-benar dieksekusi. Hal ini tentu saja membutuhkan suatu biaya dan waktu yang tidak sedikit. Hal ini tentu saja akan lebih efektif dan efisien ketika ada suatu kementerin khusus. Segala bentuk perundingan, perumusan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih singkat karena memotong rantai birokrasi.
Untuk mengatasi semua masalah tersebut, pemerintah dapat membuat program sarjana membangun desa menjadi lebih transparan. Terutama mengenai realisasi penggunaan dana. Pemerintah juga harus meminta bukti dan melihat secara langsung bukti dari pengalokasian tersebut. Selain monitoring dari pemerintah, masyarakat juga turut andil dalam mengawasi program sarjana membangun desa karena rakyat benar-benar terlibat secara langsung sehingga merupakan actor yang sangat penting bagi program sarjana membangun desa.
Oleh karena itulah mereka pasti lebih tahu dibandingkan dengan pemerintah, dengan begitu data yang nantinya dihimpun untuk monitoring dan evaluasi akan lebih akurat dan terpercaya. Hal ini dapat mencegah adanya tindakan peenggelapan dana sehingga keefektifan program sarjan membangun desa menjadi kurang.
Selain itu untuk para sarjana harus cermat dan mudah berbaur dengan masyarakat di desa tersebut. Tujuannya agar lebih mudah dalam berkomunikasi dengan masyarakat di desa serta mengetahui permasalahan mengenai peternakan. Sarjana juga harus mengetahui celah untuk mengetahui pola pikir masyarakat di desa tersebut dan memberikan pengetahuan mengenai peternakan yang baik dan benar dengan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami agar program tersebut berjalan lancar.
Caranya sarjana harus lebih cermat dalam bersikap terhadap masyarakat sehingga mendapat simpati dari masyarakat. Sarjana juga harus menjaga kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan. Sarjana harus benar-benar memberikan pengetahuan mengenai peternakan kepada masyarakat mulai dari tata cara beternak yang baik dan benar hingga pakan yang diberikan kepada ternak. Sehingga menghasilkan ternak yang berkualitas dan berkuantitas.
Sebagai pendukung penyuksesan program swasembada ini, masyarakat sendiri harus berpartisipasi secara langsung. Ada banyak cara yang dapat dilakukan, seperti menyekolahkan anak para peternak di sekolah peternakan. Saat ini, ada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) khusus peternakan, tetapi masih di kota-kota besar. Padahal orang-orang di kota jarang yang berkemauan untuk sekolah disana. Seharusnya, SMK peternakan didirikan di desa-desa yang memang berpotensi untuk peternakan sehingga anak-anak mereka dapat mendapatkan pendidikan mengenai peternakan dan dapat melanjutkan usaha orang tuanya.
Pengajar yang di SMK tersebut haruslah benar-benar menguasai dunia peternakan dan dapat bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Ilmu tentang peternakan yang dimiliki oleh mereka dapat mengubah sistem beternak yang konvesional menjadi beternak secara konvensional. Memang masih ada peternak yang berpikiran bahwa sekolah di desa tidaklah sebagus di kota dan tidak dapat mengubah kondisi hidup mereka. Jika doktrin tersebut dapat diubah, maka kemungkinan Swasembada Daging 2014 tidak hanyalah mimpi.
Rima Martin, Mahasiswa Peternakan IPB
Finalis Debat Peternakan Nasional, TIMPI ISMAPETI
follow our official twitter: @livestockreview | follow our official instagram: livestockreview