Livestockreview.com, Kampus. Harga daging yang tinggi di Indonesia merupakan hal yang aneh, sebab Indonesia mempunyai lahan yang luas dan ternak baik sapi maupun kerbau yang melimpah. Kenyataan yang pahit tersebut masih ditambah dengan kebijakan impor daging sapi yang dilakukan dari negara-negara seperti Australia maupun New Zealand yang lahannya tidak berbeda jauh dengan lahan Indonesia.
Pemerintah berdalih dengan melakukan impor daging dapat mensuplai kebutuhan sapi di seluruh Indonesia dan menekan harga yang tinggi. Kenyataannya dengan melakukan impor daging malah membuat tak berdayanya usaha peternakan lokal. Kebijakan impor daging dilain pihak, menjadi lumbung uang bagi usaha feedlot. Kebijakan impor merupakan kebijakan yang memenuhi kepuasaan sesaat namun kedepannya berdampak buruk bagi perkembangan sektor peternakan. Pasalnya, dibukanya keran impor daging sebetulnya memberatkan bagi para peternak sapi potong yang harus bersaing dengan produk impor. Peternak sapi potong harus berkompetisi dengan produk impor, hal tersebut dikhawatirkanakan menurunkan semangat peternak dalam beternak.
Indonesia melalui Kementerian Pertanian dan Peternakan saat ini sedang berjuang dalam merealisasikan program swasembada daging yang digulirkan sekitar belasan tahun silam. Kenyataannya, program tersebut sampai sekarang belum dapat diwujudkan. Alasannya ada beberapa faktor yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaanya antara lain :
Sistem perdagangan yang belum tertata dengan baik
Sistem perdagangan daging yang belum tertata baik menyebabkan harga daging dalam negeri lebih mahal dibanding harga daging impor. Banyaknya perantara dari RPH ke pedagang di pasaran menyebabkan banyak juga uang fee yang harus dikeluarkan setiap tangan untuk mendistribusikan daging ke pengecer akhir. Biaya yang dikeluarkan apabila dihitung untuk mengirim daging dari wilayah Jawa ke Sumatra lebih besar dibanding dengan mengimpor daging atau sapi untuk penggemukan dari negara luar.
Alasannya dalam melakukan impor, tidak banyak melibatkan banyak pihak sehingga uang ‘jalan” pun tidak banyak dikeluarkan. Setiap pengangkutan daging ke wilayah-wilayah di Indonesia, harus membayar uang keamaan baik di pelabuhan, dijalan kepada preman maupun aparat kepolisian. Sifat tamak ini tidak akan pernah berkurang jika sistem perdagangan dan sistem-sistem terkait belum ditata dengan baik.
Keterbatasan informasi para peternak dan peran penyuluh yang kurang aktif
Kurang pahamnya para peternak tentang program swasembada daging menjadi salah satu faktor yang menyebabkan belum terealisasinya program pemerintah ini. Peternak secara tidak langsung tidak memperhatikan sapi produktif atau tidak produktif, yang mereka jual ketika demand daging sapi di pasaran melonjak. Peternak hanya memikirkan keuntungan yang didapat tanpa berpikir dampaknya bagi ketersediaan populasi sapi yang ada.
Faktor lain yang menjadi akar permasalahan adalah kurang aktifnya penyuluh lapangan dalam menyampaikan informasi kepada para peternak. Penyuluh dalam hal ini bisa para mahasiswa peternakan yang langsung turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan. Apabila para penyuluh peternakan pemerintahan aktif untuk terjun ke lapangan dan membina para peternak, dapat dipastikan para peternak akan berpikir ulang untuk menjual sapi betina produktif mereka untuk dipotong.
Mereka akan memiliki persediaan sapi jantan yang siap dipotong jika pengelolaan peternakan mereka dibantu dan dibimbing oleh penyuluh peternakan. Indonesia bisa menjadi produsen daging dan pengekspor ternak dengan syarat memperbarui teknologi pembibitan ternak dikalangan para peternak kecil dan industri.
Akses transportasi yang sulit
Masalah transportasi merupakan masalah massal untuk semua sektor bidang terutama terkait pasokan ke daerah-daerah yang membutuhkan trasnportasi yang memadai dan sarana prasarana yang mendukung. Hal Ini menunjukan buruknya infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan Indonesia. Armada laut, darat dan udara memiliki peran yang penting dalam membawa sapi maupun daging dari daerah yang surplus produksi. Hal tersebut dapat menekan biaya distribusi apabila dilakukan pengangkutan melalui tiga jalur. Harga daging di daerah NTT dan sekitarnya cukup murah, tetapi jadi lebih mahal akibat masalah di dalam pendistribusian. Baik dari individunya maupun fasilitas yang kurang memadai.
Pengadaan kapal khusus ternak yang rencananya akan dikeluarkan maret lalu ternyata terhambat akibat masalah yang klasik yaitu “ANGGARAN”. Sistem birokrasi yang berbelit-belit membuat anggaran dan perijinan yang semestinya harus cepat dikeluarkan malah dihambat. Sudah menjadi budaya di Indonesia, proyek tanpa “UANG LELAH” akan dipersulit.
Biaya pakan yang tinggi akibat kartel pakan pabrik
Biaya pakan yang tinggi merupakan salah satu penyebab kelangkaan daging sapi. Peternak-peternak kecil hanya mampu memelihara 2-3 ekor sapi saja akibat harga pakan yang melambung tinggi. Pakan memang menjadi pengeluaran utama dalam peternakan. Asumsi untuk pakan hampir 70 % dari total biaya untuk beternak.
Peternakan skala industri tentu tidak merasakan dampak yang demikian, mereka memproduksi pakan untuk dijual maupun digunakan untuk industri mereka sendiri. Otomatis mereka dapat memainkan harga pakan jika pasokan sapi maupun daging sapi mulai langka dan harga yang rendah. Sehingga mereka dapat memonopoli harga pakan di pasaran.
Peternak-peternak sebenarnya dapat mengatasi masalah pakan yang mahal dengan membuat formulasi ransum pakan sendiri. Bahan-bahannya pun didapat dari limbah pertanian disekitar mereka. Inilah salah satu peran penting para penyuluh pertanian dan peternakan. Peran mahasiswa peternakan juga sangat dibutuhkan dalam hal ini. Mereka harusnya dapat membina para peternak yang kurang memiliki pengetahuan akan kombinasi pakan ternak. Melalui pengetahuan yang mereka miliki tentang formulasi ransum, dapat mengatasi masalah harga pakan yang meroket.
Program pemerintah yang masih menyulitkan dan belum pro peternak kecil
Pemerintah memiliki beberapa program kredit yang bisa dimanfaatkan para peternak, di antaranya Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), maupun Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK). Program yang diberikan pemerintah selama ini yang untuk usaha pembibitan dan budidaya ternak seperti pinjaman modal dan kredit hanya menguntungkan pengusaha–pengusaha besar. Pengusaha-pengusaha mampu membayar cicilan dengan tingkat bunga yang besar, sedangkan para peternak kecil, merasa keberatan dengan tingkat bunga yang ditawarkan. Hal ini tentu membuat jurang pemisah antara peternak kecil dan peternak besar semakin lebar.
Tingkat bunga yang besar, akan sangat memberatkan para peternak kecil sebab mereka juga harus memikirkan biaya operasional setiap hari unutuk ternak mereka. Prosedur yang kurang dimengerti peternak kecil untuk mengajukan program tersebut juga menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Harusnya perbankan lebih memudahkan dalam hal peminjaman modal kepada peternak-peternak kecil dengan sistem bunga menurun. Apabila dipermudah tentu peminjaman juga akan mengalami kenaikan dan omset dari bank juga akan mengalami kenaikan. Penggalakan kembali KUD harus digalakkan kembali, karena KUD biasanya memberikan pinjaman barang penunjang sarana peternakan.
Faktor-faktor penghambat swasembada daging tahun 2014 di atas merupakan PR yang berat bagi pemerintah jika tidak ditangani secara serius dan sungguh-sungguh. Langkah pemerintah sekarang untuk membeli lahan di wilayah Australia dinilai cukup efektif. Alasannya, selain lebih efisien, terutama untuk pengembangbiakan sapi atau breeding dimana biayanya jauh lebih murah di Australia ketimbang Indonesia. Sapi-sapi tersebut nantinya setelah dibiakkan akan diboyong kembali ke Indonesia untuk proses penggemukan.
Pemerintah diharapkan dapat menggaet para akademisi, mahasiswa dalam pencapaian program swasembada daging 2014. Mahasiswa merupakan agen of control dalam suatu kebijakan sehingga diharapkan kebijakan yang baik ini dapat berjalan dengan baik jika ada kontrol yang ketat dari para mahasiswa. Para pemangku kepentingan juga diharapkan dapat duduk bersama-sama dan bersinergi dalam mewujudkan program swasembada daging.
Ikhwan Hadianto, Ananda Saka Prayogo, dan Bayu Kristanto, Jurusan Peternakan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah
Finalis Debat Peternakan Nasional, TIMPI ISMAPETI
follow our official twitter: @livestockreview | follow our official instagram: livestockreview