Livestockreview.com, Bisnis. Data Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan impor grand parent stock (GPS) unggas dalam lima tahun terakhir terus melonjak, dan hal ini sangat mengkhawatirkan dalam jangka panjang, karena hal ini berarti fondasi perunggasan nasional yang sangat rentan oleh goncangan jika ada ketersendatan pasokan bibit impor, baik disengaja maupun tidak.
Pada 2007 misalnya, data Ditjen Peternakan menunjukkan adanya impor bibit GPS sebanyak 361.460 ekor, tahun 2008 sebanyak 370.036 ekor, lalu di tahun 2009 mengimpor bibit GPS sebanyak 404.774 ekor dan di 2010 sebanyak 402.414 ekor.
Direktur Perbibitan Ternak Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian, Abubakar mengungkapkan, di tahun 2011 ini hingga bulan November lalu, telah diimpor bibit GPS sekitar 480 ribu ekor. “Kami khawatirkan jika suatu saat GPS tidak boleh impor dari luar, mau makan apa kita,” ujarnya. Abubakar mengatakan, kondisi tersebut segera diperbaiki dengan melakukan berbagai upaya. Jika tidak, dia mengatakan masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati protein hewani yang berasal dari unggas.
“Kita harus antisipasi, selama ini kita nggak ada produksi sendiri,” tegasnya. Di Indonesia, Abubakar mengungkapkan ada 12 perusahaan pembibitan ayam GPS, yang sayangnya ketergantungan impor bibit GPS masih 100% dari luar negeri. Sementara untuk pembibitan ayam Parent Stock (PS), lanjutnya, Indonesia memiliki 39 perusahaan pembibitan.
Dalam hal impor bibit PS, kerap terjadi apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. “Industri bibit unggas masih sedikit karena padat teknologi dan padat modal. Khususnya untuk pembibitan GPS, butuh investasi besar sekali karena teknologinya tinggi,” katanya.
Kebutuhan DOC domestik
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Indonesia Krissantono mengatakan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri pembibitan ayam masih harus mengimpor dari luar negeri karena di dalam negeri belum dapat diproduksi. Indukan ayam (GPS dan PS) tersebut, lanjut Krissantono, nantinya akan menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam atau day old chicken (DOC).
Krissantono memaparkan produksi anak ayam ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang rata-rata mengkonsumsi hanya 31 juta ekor per minggu atau setara dengan 1.612 juta ekor setahun. Jumlah itu terancam dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang terus membutuhkan asupan protein hewani yang berasal dari daging ayam sebesar 6-7 kg per kapita per tahun dan konsumsi telur ayam sebanyak 5 kg perkapita per tahun. “Lonjakan impor memang menyolok, tapi itu terpaksa kita lakukan. Ketergantungan impor dari luar masih ada, tapi prospek ke depan masih cukup luas,” ujarnya. follow our twitter: @livestockreview
sumber: kontan | editor:sugiyono