Livestockreview.com, Referensi. Jika melongok tahun 2009, impor daging dan sapi bakalan sedang mencapai puncaknya, yaitu sapi bakalan sekitar 765 ribuan ekor dan daging sapi sekitar 120 ribuan ton. Pada tahun tersebut pemerintah menyatakan bahwa program percepatan swasembada daging sapi dinyatakan gagal.
Namun saat itu, harga daging sapi relatif stabil dan terjangkau, akan tetapi karena salah satu tolok ukur swasembada daging sapi adalah rasio impornya harus mencapai sekira 5-10% dan waktu itu impornya mencapai sekira 53-an%. Maka pemerintah menyatakan bahwa program tersebut gagal dan diundurkan sampai dengan tahun 2014 dengan program yang disebut PSDSK (program swasembada daging sapi dan kerbau).
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2011 pemerintah melalui BPS melakukan sensus ternak sapi yang menghasilkan data bahwa populasi sapi dan kerbau mencapai 16,7 juta ekor (lebih tinggi dari blue print sebesar 14,2 juta ekor). Sedangkan impor sapi bakalan mengalami penurunan menjadi 521.000 ekor sementara daging impor mencapai 110.000 ton.
Atas dasar hal tersebut, pemerintah merasa bahwa swasembada daging sapi telah tercapai, pasalnya salah satu tolok ukurnya yaitu populasi ternak sapi diakhir tahun program (2014) adalah 14,2 juta ekor. Atas dasar inilah, kebijakan rasio impor yang semula sekira 53 % diturunkan ditahun 2012 menjadi 17,5 %.
Padahal infra struktur dan program pendukung swasembada lainnya tidak berubah. Akibatnya telah terjadi penurunan yang signifikan ketersediaan daging sapi dipasar, dampaknya harga daging sapi meningkat tajam dan tidak turun hingga kini. (BERSAMBUNG)
sumber: ppski (editor: sugiyono)
follow our official twitter: @livestockreview | follow our official instagram: livestockreview