Livestockreview.com, Produk Olahan. Sejarah keberadaan susu formula bermula pada 1867. Saat itu Henri Nestle berniat menolong bayi agar lebih sehat. Namun tak disangka-sangka pemasarannya menjadi tidak terkendali. Seorang dokter asal Singapura, Cecille, 72 tahun kemudian, menemukan bahaya susu formula pada bayi, bahkan sampai berakibat kematian.
Lalu berbagai tuntutan pada produsen susu formula terjadi di Swiss dan negara-negara lain. Mereka dituding sebagai penyebab banyak kematian bayi.
Karena banyaknya tuntutan hukum itulah, lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada kesehatan bayi dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) duduk bersama untuk meneliti dan membicarakan jalan keluarnya. Pada 1981, WHO berhasil membuat kode internasional yang membatasi pemasaran susu formula, bukan pembuatannya.
Dalam Pasal 5.5 Kode WHO menyatakan: personel pemasaran dalam kapasitas bisnisnya hendaknya tidak melakukan kontak langsung atau tidak langsung dalam bentuk apa pun dengan perempuan hamil atau dengan ibu dari bayi atau anak (balita). Kode WHO itu diadopsi dengan Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 1997 mengenai pemasaran pengganti air susu ibu.
Dua belas tahun kemudian Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 memperkuat hak setiap anak untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif selama enam bulan. Sanksinya, jika ada pihak yang mengganggu, bisa dipidanakan penjara 1 tahun atau denda Rp 100 juta. “Jika itu dilakukan oleh korporasi seperti tempat kerja ibu, rumah sakit, produsen susu, si pelaku bisa terancam pidana tiga tahun penjara,” kata Ketua Sentra Laktasi Indonesia, dokter Utami Roesli.
Pantau ‘kenakalan’ produsen susu formula
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia adalah organisasi yang dengan gigih berjuang memantau jika ada pihak yang merayu ibu menyusui menggunakan susu formula. “Karena produsen susu sudah membidik sejak ibu masih mengandung, menggunakan susu selama kehamilan, dengan harapan nantinya juga terjadi pada bayi yang dilahirkan,” ujar ketua asosiasi, Mia Sutanto.
Ibu dua anak ini berharap masyarakat melaporkan jika ada pelayan kesehatan membujuk, menyuruh, atau mengiming-imingi agar ibu memberikan susu formula selain air susunya. “Kami akan berjuang di level kebijakan agar tak hanya dijadikan tempat sampah untuk mengobati bayi korban susu formula,” ujar seorang pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Jakarta, Asti Praborini.(TAMAT)
sumber: Tempo | editor: ria laksmi