Livestockreview.com, Referensi. Munculnya wabah demam berdarah babi di Sumatra Utara belum mendesak untuk dideklarasikan sebagai wabah nasional. Mengingat kematian bukan satu-satunya oleh virus DBA.
Para peternak dan industri peternakan babi menunggu pemerintah mengumumkan wabah demam babi Afrika di Sumut. Hal itu untuk mencegah penyebaran penyakit. (Kompas, 12/12/2019).
Kejadian kematian babi dan bangkainya dibuang ke aliran sungai di Sumatera Utara, memang mengkhawatirkan. Sejak Agustus 2019, jumlah kematian lebih dari 25 ribu ekor. Perlu tindakan segera untuk mengurangi kerugian ekonomi dan mengantisipasi penularan pada lingkungan.
Hasil pengujian laboratorium di Medan menyebutkan bahwa pada babi yang mati dijumpai virus Demam Babi Klasik (DBK) atau virus Classical Swine Fever atau hog kholera. Tetapi juga disebutkan dugaan terinfeksi virus lain. Salah satunya Virus Demam Babi Afrika (DBA) atau African Swine Fever. Ini suatu ketidak-laziman, seolah sudah menduga ada virus lain pada kematian babi itu.
Apakah pengujian diarahkan untuk menunjuk virus DBA sehingga semua dikerahkan untuk memburu virus tersebut? Bukankah ada banyak virus ganas lain yang bisa memicu kematian pada babi, masih cukup banyak?
Seharusnya hasil uji tersebut menjadi hak Kementerian Pertanian untuk menentukan sikap, tetapi malah viral. Padahal, jika dicurigai adanya kuman patogen baru (eksotik), perlu uji banding lebih dulu dari laboratorium rujukan.
Dari foto yang beredar, salah satu tanda kematian yang menonjol adalah bintik merah pada kulit (hemoragie). Mirip orang terinfeksi demam berdarah. Oleh karena itu, babi mati di Sumut bisa juga disebut demam berdarah babi, penyebabnya kuman atau patogen yang bisa menimbulkan demam berdarah.
Potensi ekonomi
Daging babi menyuplai sepertiga konsumsi daging dunia. Adanya infeksi mengancam sumber protein ini. Apalagi di Indonesia babi bisa terinfeksi flu burung, sehingga babi yang terinfeksi dan berisiko dimusnahkan.
Populasi babi dunia tahun 2018 ada 770 juta ekor, di China 440 juta ekor (30 persen populasi dunia); Eropa 150, Amerika Serikat 74 juta. Dengan produksi daging 55 juta metrik ton per tahun, China merupakan eksportir babi dan daging terbesar dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2018, populasi total 8,5 juta ekor (1,11 persen dari populasi dunia dan 1,93 persen dari populasi di China), dengan sebaran yang tidak merata. Provinsi dengan populasi babi tertinggi adalah NTT, 2 juta ekor, disusul Sumatera Utara 1,2 juta. Provinsi lain dengan populasi di atas 500 ribu ekor adalah Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Sementara provinsi dengan kisaran 300 ribu ekor adalah Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat. Dengan demikian, peternakan babi di Indonesia memberikan andil pada perekonomian daerah. (BERSAMBUNG)
follow our ig: www.instagram.com/livestockreview
penulis: c.a nidom, guru besar fkh unair, surabaya | sumber: kompas