Livestockreview.com, Referensi. Setelah lebih dari tiga minggu berlangsung, episode “perang dagang” sapi Australia masih belum banyak berjanjak dari episode awal: berupa saling menjajaki kekuatan lawan. Dalam istilah tinju, setelah Pemerintah Australia melancarkan hook keras pada awal bulan Juni berupa larangan (sementara) ekspor sapi hidup Australia ke Indonesia selama enam bulan, Pemerintah Indonesia belum banyak membalas. Kalau pun ada, Pemerintah Indonesia masih berada pada posisi bertahan, sambil bertukar jab ringan, dengan tetap mengandalkan double cover yang kuat.
Pemerintah Indonesia telah bertekad mengurangi impor sapi sampai hanya 85 ribu ekor saja pada 2014, dari saat ini sekitar 260 ribu ekor atau setara 460 ribu ton daging sapi (Kementerian Pertanian, 2010). Maksudnya, target penyediaan daging sapi domestik akan ditingkatkan dari 280 ribu ton daging saat ini (70 persen dari kebutuhan konsumsi nasional) menjadi 420 ribu ton pada tahun 2014 (90 persen dari konsumsi).
Dalam bahasa diplomasi ekonomi, Pemerintah Indonesia masih belum bereaksi keras terhadap pelarangan ekspor sapi Australia itu, kecuali membuat pernyataan normatif dengan intonasi yang datar seperti: “sangat menyesalkan”, “mengapa tidak berkonsultasi lebih dahulu”, “kesempatan yang baik untuk mengembangkan sapi lokal” dan sebagainya.
Kekhawatiran tentang melonjaknya harga daging pada saat konsumsi tinggi pada bulan Ramadhan Agustus nanti, juga ditanggapi datar oleh Pemerintah, yang menyatakan bahwa persediaan daging akan aman sampai Idul Fitri. Dengan reaksi Indonesia yang datar-datar tersebut, sebenarnya tekanan justeru lebih banyak menimpa Pemerintah Australia. Reaksi para peternak Australia kini justeru jauh lebih keras dibandingkan dengan isu animal welfare yang dijadikan sebagai pintu masuk dari espisode “perang dagang” sapi ini.
Peternak sapi Australia akan kehilangan penghasilannya sampai A$100 juta atau sekitar Rp900 miliar karena pelarangan ekspor sapi hidup selama enam bulan tersebut. Mereka mendesak agar Pemerintah Australia segera menghentikan larangan ekspor sapi itu dan mendidik para peternak Indonesia untuk mematuhi prinsip-prinsip pemotongan sapi yang lebih beradab.
Tidak kurang dari Menteri Pertanian Federal Australia Joe Ludwig dan Menteri Pertanian Austraia Barat Terry Redman mengunjungi Indonesia dan mengadakan pertemuan dengan Menteri Pertanian Suswono dan para stakeholders peternakan di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Pembicaraan yang oleh beberapa media berbahasa asing disebutkan sebagai ”konstruktif” itu sebenarnya belum banyak meghasilkan kemajuan berarti. Apalagi, Australia seakan memaksakan metode penggunaan alat kejut (stunning) untuk membuat sapi pingsan sebelum dipotong di seluruh rumah potong hewan di Indonesia. Indonesia pun menyadari bahwa tidak semudah itu menerapkan alat kejut yang konon telah dianggap sebagai prosedur standar internasional kesejahteraan hewan (animal welfare).
Australia tetap berada pada posisi semula, menerapkan larangan ekspor sapi, dan hanya akan membuka kran ekspor sapi lagi, apabila Indonesia telah menerapkan standar internasional pemeliharaan hewan. Tim investigasi gabungan dari kedua negara konon telah dibentuk untuk menelusuri lebih dalam tentang sinyalemen kekerasan terhadap sapi (animal cruelty), terutama pada 12 rumah potong hewan (RPH) yang telah di-blacklist oleh Pemerintah Australia. Apalagi, pihak Indonesia menduga terdapat ketidakcermatan Australia dalam membuat daftar hitam RPH tersebut.
Misalnya, satu rumah potong di Nusa Tenggara Barat yang berada dalam daftar itu ternyata tidak beroperasi lagi dan satu rumah potong lagi tidak pernah menyembelih sapi asal Australia. Bahkan, Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Sumatra Utara berhasil memperoleh pengakuan dari tiga orang jagal di RPH Binjai yang dibayar Rp50 ribu masing-masing untuk melakukan aksi berpura-pura kejam melakukan penyiksaan sapi, seperti tergambar dalam video yang menghebohkan publik Australia (Medan Bisnis, 6 Juni 2011). Seberapa akurat dari episode saling klaim seperti ini, nampaknya langkah investigasi yang lebih fair dan obyektif wajib dilakukan.
Perang dagang tahap awal
Tidak berlebihan untuk disebutkan bahwa epsiode “perang dagang” sapi saat ini masih berada pada tahap awal. Episode lanjutan yang lebih menarik masih akan berlangsung, dan mungkin akan lebih panas, karena telah melibatkan dunia bisnis ber-omzet besar hampir Rp3 triliun. Sebagaimana lazimnya, episode “perang dagang” pasti masuk para ranah politik, baik di Australia, maupun di Indonesia.
Dimensi perosalan domestik ekonomi-politik Australia tampak lebih kental, dibandingkan dengan persoalan animal welfare seperti dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Australia. Tekanan dari Partai Hijau di Australia dan kelompok penyayang binatang akan tetap besar kepada Pemerintah Federal untuk mempertahankan posisinya. Tekanan balasan dari pelaku peternakan sendiri juga tidak kalah besarnya, karena menyangkut sektor strategis peternakan yang menjadi tumpuan bagi dunia agribisnis di Australia.
Ancaman daging beku Australia
Bagi Indonesia, jika Pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, tidak mampu secara piawai mengolah komunikasi politik dengan baik dan memanfaatkan momentum pelarangan ekspor sapi hidup Australia ini, episode “perang dagang” sapi ini bisa berbalik menjadi negatif. Persoalan governansi permberian izin dan kuota impor sapi di dalam negeri adalah persoalan lain yang pasti akan menjadi makanan empuk bagi siapa pun yang merasa dirugikan karena kebijakan spesifik yang diambil pemerintah. Pemerintah dituntut senantiasa melakukan langkah-langkah kebijakan yang jitu untuk mencapai swasembada daging sapi, sekaligus mengurangi ketergantungan impor daging sapi dari Australia.
Pembenahan itu dimulai dari akurasi dan kualitas data sapi yang berada di Indonesia. Sensus sapi yang rencananya akan dilakukan pada Juli 2011 ini diharapkan menjadi tonggak awal dalam perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pencapauan swasembada sapi. Estimasi jumlah sapi potong di Indonesia yang diperkirakan sebesar 13 juta akan memperoleh verifikasi yang lebih akurat, sehingga target-target dan langkah-langkah swasembada daging pun dapat lebih solid dilaksanakan. Demikian pula, tentang akurasi data impor sapi Australia pun akan dapat diperbaiki, tidak terdapat dua versi seperti sekarang (260 ribu ekor sapi versi Indonesia versus 500 ribu ekor sapi versi Australia).
Hal lebih penting lagi adalah bahwa langkah diplomasi ekonomi Indonesia akan lebih sempurna dan berwibawa, tidak mudah goyah terhadap tekanan-tekanan pihak luar. Apalagi, jika sampai terbukti, Australia justeru berminat meningkatkan ekspor daging beku (frozen boxed beef), plus jerohan, tetelan, tulang-tulang dan sebagainya. Sangat mungkin bahwa Indonesia akan memperoleh daging kualitas rendah atau bahkan reject, suatu pelecehan kedaulatan bangsa yang dapat berdampak serius. Pada kenyataannya daging impor berkualitas rendah inilah yang justeru merusak pasar domestik dan mengacak-acak tataniaga sapi lokal di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak bodoh dan tidak akan tinggal diam terhadap tindakan kesewenang-wenangan.
MetroTV | Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA