Livestockreview.com, Bisnis. Para peternak broiler (ayam ras pedaging) yang tergabung dalam Sekber Penyelamatan Peternak Rakyat dan Perunggasan Nasional (PPRPN) melakukan demonstrasi di Istana Merdeka, Jakarta pada Selasa (5/3), dan menyampaikan empat tuntutan kepada Presiden Joko Widodo.
Kadma Wijaya, ketua Sekber PPRPN pada rilisnya menjelaskan bukti-bukti marjinalisasi secara sistematis kepada peternak rakyat mandiri. Pertama, diberikannya hak budidaya broiler kepada perusahaan terintegrasi sehingga terjadi persaingan tidak sehat. Peternak rakyat mandiri membeli DOC (anak ayam umur sehari) dan pakan dari integrator, dan di pasar livebird (ayam hidup) peternak bersaing dengan integrator yang memasok pakan.
“Harga pokok produksi (HPP) peternak saat ini sekitar Rp 19.500 – Rp 20.000/kg, sedangkan HPP integrator Rp 15.500 – Rp 16.000/kg. Terjadi perbedaan HPP sebesar Rp 3.500 – Rp 4.000/kg atau Rp 5.000 – Rp 6.500 perekor,” ungkapnya.
Kedua, integrator dan peternak rakyat bertarung di pasar yang sama, yaitu pasar tradisonal sehingga terjadi persaingan tidak seimbang. Sebanyak 80% dari panen livebird integrator maupun peternak mandiri diperkirakan masuk ke pasar tradisional. Dengan struktur biaya yang lebih efisien, integrator jelas bisa leluasa menguasai pasar tradisional.
Ketiga, ketidakmauan mengatur pasokan dan distribusi DOC. Peternak massa aksi demo menganggap pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian tidak serius dalam mengatur pasokan DOC untuk menyesuaikan dengan prediksi permintaan pasar yang menurut mereka bisa diprediksi sejak 2-3 bulan sebelumnya. Padahal, menurut mereka, Kementan memiliki kuasa dan wewenang untuk mengontrol pasokan DOC. Tidak efektifnya kontrol ini membuat fluktuasi harga ayam hidup terus terjadi sepanjang tahun dengan trend semakin memburuk.
Keempat, naiknya harga DOC dan pakan, masing-masing sebesar 12,15% (Rp 850/kg) dan 29% (Rp 1.595/ekor). Kenaikan terjadi sebanyak 6 kali secara bertahap, sepanjang 2018. Menurut mereka, harga DOC dan pakan terjadi karena kenaikan harga jagung dalam negeri dan penguatan dollar. Kenaikan harga DOC disebabkan karena kenaikan harga pakan dan kenaikan biaya depresiasi akibat kosongnya kandang induk pasca pemangkasan produksi.
Namun menurut PPRPN, kenaikan harga DOC juga terjadi karena kelangkaan pasokan DOC untuk peternak mandiri. Karena oerusahaan integrator memprioritaskan produksi DOC mereka untuk mengisi kandang budidaya internal perusahaan dan peternak mitra mereka.
Efek dari marjinalisasi ini, menurut Kadma, terjadi penyusutan jumlah peternak mandiri. Pada 2014, peternak unggas rakyat mandiri yang berafiliasi kepada Perhimpunan Peternak Unggas Nasional (PPUN) Bogor sebanyak 135 orang, saat ini tinggal 27 orang yang bertahan. Peternak mandiri di Lampung dan Palembang nyaris punah. Peternak yang bertahanpun menanggung hutang yang sangat besar karena usahanya terus merugi.
Menangkap terjadinya marjinalisasi sistematis itu, PPRPN pun melayangkan tuntutan kepada pemerintah.
Pertama, meminta kepada presiden RI untuk memberikan rasa keadilan dalam berusaha dan perlindungan usaha kepada peternak unggas rakyat mandiri agar terhindar dari kerugian parah seperti saat ini.
Kedua, meminta kepada presiden RI untuk mengambil inisiatif mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menggantikan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU No 41/2014) yang mereka anggap terbukti menyebabkan terjadinya marjinalisasi kepada peternak unggas rakyat mandiri. Mereka meminta melalui Perpu itu hak budidaya unggas dikembalikan kepada peternak rakyat mandiri.
Ketiga, meminta kepada presiden RI untuk menurunkan harga sarana produksi peternakan terutama harga pakan dan DOC dalam eaktu secepatnya.
Keempat, meminta kepada presiden RI untuk menggunakan kewenangannya mengendalikan pasokan DOC dan ayam hidup secepatnya.
sumber: trobos | editor: soegiyono
Follow our Instagram:@livestockreview