Livestockreview.com, Kampus. Terkait masuknya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia saat ini, berbagai upaya pencegahan wabah sangat penting terlebih berkaitan dengan hari raya idul kurban yang semakin dekat, dimana komoditas sapi menjadi ternak utama dalam penyembelihan hewan kurban.
Selain itu, kondisi ini kemungkinan akan membuat harga daging sapi yang meningkat karena kelangkaan sapi yang sehat dari wabah PMK.
Berbagai kepentingan mendesak pemerintah untuk melakukan lockdown terhadap ternak sapi yang terkena wabah PMK untuk mencegah penularan PMK yang semakin meluas. Beberapa daerah melakukan pemulangan ternak kiriman yang tidak lolos inspeksi PMK. Tentu saja apabila lockdown dilakukan akan berpengaruh terhadap berkurangnya hewan ternak daerah yang selama ini mengandalkan ternak dari daerah berbeda.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada melalui Pusat Kajian Pembangunan Peternakan (PKPP) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Sapi PMK, sahkah untuk Qurban?” yang diselenggarakan pada hari Jumat, 20 Mei 2022.
Forum Group Discussion dihadiri oleh pembicara dari berbagai pemangku kepentingan di bidang petenakan, yakni drh. Tjahjani Widiastuti (Koordinator Substansi Zoonosis, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH), drh. Hendra Wibawa, M.Si., Ph.D. (Kepala Balai Besar Veteriner Wates), Ir. Didik Purwanto. IPU. (Pengurus Besar Ikatan Sarjana dan Insinyur Peternakan Indonesia), Prof. Dr. Ir. Endang Baliarti, SU. (Kepala Laboratorium Ilmu Ternak Potong, Kerja, dan Kesayangan, Dosen Fakultas Peternakan UGM), Prof. Dr. Drs. KH. Makhrus Munajat, SH. M.Hum. (Ketua Komisi Fatwa MUI, Daerah Istimewa Yogyakarta). Acara dipandu oleh Moderator Prof. Ir. Yuny Erwanto, S.Pt., MP., Ph.D., IPM (Wakil Dekan Fapet UGM Bidang Penilitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama).
Poin-poin penting hasil FGD tersebut yakni:
Pertama, kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak dikategorikan bukanlah penyakit zoonosis sehingga tidak akan menular kepada manusia, namun mempunyai kecepatan penularan yang tinggi kepada ternak, dan menyebabkan kematian kepada ternak muda.
Kedua, dengan pertimbangan mengurangi madarat yang akan terjadi maka ternak yang secara klinis telah dinyatakan sakit PMK oleh ahlinya, maka ternak tersebut tidak sah digunakan untuk ternak qurban.
Ketiga, dalam hal sohibul qurban sudah melakukan akad dengan penjual, ternak secara klinis sehat dan sudah memastikan bahwa ternak tersebut dijadikan ternak qurban, dan dalam perjalanan waktu mengalami sakit yang secara klinis dinyatakan PMK, maka apabila masa menunggu tinggal sehari dan dipastikan bisa dipotong pada hari nahar atau pemotongan maka dalam kondisi darurat tersebut ternak qurban tersebut dinyatakan sah sesuai niat dari awal. Namun apabila sakitnya terjadi masih dalam jangka yang tidak mungkin sampai pada hari nahar maka ternak tersebut bisa dipotong sebagai sodaqah.
Keempat, cara pemotongan ternak yang terkena penyakit PMK mengikuti prosedur sesuai dengan rekomendasi instansi yang berwenang termasuk penanganan daging pasca pemotongan. lr/ugm