Livestockreview.com, Kampus. Produktifitas pada ternak tidak hanya dilihat pada produksi, seperti halnya pertumbuhan dan perkembangan, namun produktifitas juga di lihat dari performans reproduksi ternak. Produktifitas reproduksi pada seekor ternak yang mempunyai dampak yang sangat menguntungkan bagi masyarakat khususnya peternak.
Jika produktifitas reproduksinya berjalan dengan baik, maka akan menghasilkan banyak anak (prolifik) hal ini sangat menguntungkan bagi masyarakat. Menjawab keinginan masyarakat untuk menghasilkan banyak anak dari sisi reproduksi menerapkan teknologi IB (Inseminasi Buatan), Inseminasi Buatan sudah berkembang dikalangan peternak, namun dalam Inseminasi Buatan belum memenuhi kebutuhan masyarakat peternakan, karena di setiap daerah mempunyai kebutuhan yang berbeda khususnya jenis kelamin yang dilahirkan pada saat dilakukanya Inseminasi Buatan.
Keinginan dan kebutuhan masyarakat untuk permintaan jenis kelamin ternak sangatlah tinggi. Di Boyolali misalnya, daerah ini terkenal sebagai daerah penghasil susu, khususnya di daerah Jawa Tengah, keinginan mereka pada saat diinseminasikan menghasilkan anak betina untuk replacement atau sebagai penghasil susu.
Lain halnya dengan daerah Grobogan yang terkenal sebagai daerah penghasil ternak pedaging. Peternak di daerah ini sangat mengharapkan betina yang setelah diinseminasikan menghasilkan anak jantan untuk di gemukkan dan di jual dalam bentuk ternak hidup siap potong. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di setiap daerah peternakan di Indonesia khususnya Jawa Tengah mempunyai kebutuhan yang berbeda.
Mamalia mempunyai sepasang kromosom yang menentukan jenis kelamin jantan dan betina pada hewan atau ternak tersebut. Spermatozoa pada mamalia ada dua yaitu spermatozoa mengandung kromosom X dan spermatozoa mengandung kromosom Y, menurut Gaarnet (1983) bahwa rata-rata kandungan spermatozoa X dan Y dalam semen sapi adalah 49,5% dan 50,5%. Hal ini menunjukan bahwasanya kromosom Y lebih besar dibanding dengan kromosom X, dimana kromosom Y adalah jantan dan bertahan hidup pada pH basa sedangkan kromosom X adalah betina dan dapat hidup pada kondisi asam.
Untuk mengontrol jenis kelamin pada ternak telah diupayakan dengan cara sperma sexing, teknologi sperma sexing yaitu suatu pengembangan ilmu bioreproduksi pemisahan antara kromosom X dan kromosom Y pada sperma, dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan peternak. Sperma dengan kromosom yang sudah terpisahkan antara X dan Y, peternak dapat memilih sesuai dengan kebutuhan jenis kelamin anak yang dihasilkan, teknologi ini dapat diperoleh hasil yang bagus dalam skala lab, namun penerapanya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan dan dapat disimpulkan belum dapat memenuhi kebutuhan peternak.
Di lain pihak pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada daging, peran pemerintah sangatlah penting, dengan adanya program swasembada daging untuk Indonesia maka pemerintah tidak lepas dari masyarakat, khususnya peternak di setiap daerah. Guna sukses berjalanya program yang telah dicanangkan, dalam ketercapaian program swasembada pemerintah akan mengupayakan segala cara, seperti halnya pemberian hibah pada para peternak, dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk ternak
Pemerintah juga mengupayakan dalam bidang reproduksi yang berkerjasama dengan ilmuan di perguruan tinggi, BIB di setiap daerah serta inseminator di setiap wilayah, kerjasama yang dilakukan yaitu untuk meningkatkan populasi ternak untuk ketercapaian program swasembada daging. Selain itu pemeliharaan ternak alternatif sebagai ternak penghasil daging dapat menjadi upaya dalam pencapaian program swasembada daging.
Potensi reproduksi kelinci
Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif penghasil daging sebagai sumber protein karena kelinci mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangbiakan yang relatif lebih cepat dibandingkan ternak ruminansia. Namun, peternakan kelinci di Indonesia kurang berkembang dengan baik karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang potensi yang dimiliki kelinci.
Selain itu masyarakat cenderung menjadikan kelinci sebagai binatang peliharaan yang sayang jika disembelih untuk diambil dagingnya. Hal ini berbanding terbalik dengan harga daging sapi yang sangat mahal tetapi produksinya sedikit setiap tahunnya, tetapi permintaan pasar terus meningkat, hingga pemerintah mengambil langkah untuk import daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan.
Teknologi reproduksi sangat berperan dalam menunjang program swasembada daging, mengingat kebutuhan di setiap daerah berbeda beda serta mengontrol populasi jantan dan betina agar seimbang, hal ini juga dapat menanggulangi pemotongan betina produktif yang sangat marak dewasa ini. Teknologi yang sudah di terapkan untuk meningkatkan populasi yaitu inseminasi buatan dan untuk mengontorol jantan betina yaitu pemisahan kromosom X dan Y pada spermatozoa, tujuan dari pemisahan kromosom X dan Y pada spermatozoa salah satu solusi untuk menentukan jantan betina untuk menjawab permintaan dari masyarkat di tiap daerah. Namun cara itu dirasa kurang efisien dan dinilai masih kurang tepat, karena jika sperma yang telah di inseminasikan pada betina berkromosom Y sedangkan suasana pH dari alat reproduksi betina asam, maka kromosom Y mempunyai daya fertilitas yang rendah.
Pengaturan jenis kelamin anak sekelahiran sulit dilakukan karena belum adanya pakan yang dapat mempengaruhi kondisi pH alat reproduksi. Alternatifnya adalah penggunaan pakan RGM-B (Ransum Gender Manipulation-Basa), yang merupakan upaya yang dapat mengatasi masalah bibit ternak yang menghasilkan daging. RGM-B dapat diterapkan pada ternak kelinci dalam mendukung pencapaian swasembada daging melalui kebutuhan jenis kelamin ternak dan bibit ternak alternatif penghasil daging. (BERSAMBUNG)
Pancar Suryo Ika P, Hastine Midyo Prastyowati, Eka Siswati, Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang
Finalis pada Call For Policy Paper dalam Temu Ilmiah Mahasiswa Peternakan Indonesia oleh ISMAPETI, di Bengkulu, 7-12 Nopember2013 | editor: sitoresmi fauzi