Livestockreview.com, Referensi. Usaha peternakan sapi perah rakyat yang saat ini memberi kontribusi memasok sekitar 25 persen kebutuhan susu nasional merupakan asset nasional yang tidak dapat diabaikan. Perannya tidak hanya mengurangi ketergantungana kebutuhan susu dari susu impor, tetapi telah mampu menggerakkan perekonomian di pedesaan di daerah kantong rpoduksi dengan berbagai efek ganda baik di aspek social, ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan sebagainya.
Dalam pers release yang dikirim ke meja redaksi Livestockreview.com, Ketua Dewan Persusuan Nasional (DPN) Teguh Boediyana mengatakan, Letter of Intent ( LOI) yang ditandatangani pada bulan Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund ( IMF), apabila dicermati tampaknya telah dimanfaatkan oleh suatu kepentingan yang sangat jauh dari aspek krisis moneter pada waktu itu. Hal ini diindikasi adanya butir LOI yang mengharuskan pemerintah menghapus semua ketentuan yang berkaitan dengan pengendalian impor susu, kewajiban menyerap susu segar produksi dalam negeri, dan pengendalian harga susu di dalam negeri.
Sebagai akibatnya kebijakan pengembangan dalam persusuan nasional yang tertuang dalam Inpres No. 2/1985 harus direvisi melalui Inpres No. 4/1998 di mana berbagai ketentuan yang bertujuan untuk mengembangkan persusuan nasional dan khususnya usaha peternakan sapi perah di tanah air terpaksa dihapuskan.
Implikasi dengan tekanan IMF ini adalah bahwa setelah tahun 1998 sampai saat ini produksi susu segar dalam negeri yang dihasilkan peternak sapi perah relative stagnant, dan posisi tawar peternak sapi perah melalui wadah koperasi sangat lemah. Pemerintah cenderung membiarkan peternak sapi perah harus bergelut dengan Industri Pengolahan Susu ( IPS) dan tanpa kebijakan perlindungan pada peternak sapi perah rakyat tersebut.
Belajar dari kasus komoditas kedelai di mana Pemerintah akan merevitalisasi peran Bulog (yang berarti melawan butir LOI ), maka Dewan Persusuan Nasional mendesak kepada Pemerintah untuk :
Pertama, memberlakukan kembali kebijakan ekualisasi dalam importasi susu dengan penyerapan susu segar ( kebijakan rasio susu ), dan kebijakan impor susu melalui system satu pintu.
Kedua, menaikkan bea masuk dari 5 persen menjadi sekurang-kurangnya 15 persen untuk bahan baku susu, dan Bea Masuk di atas 20 persen bagi susu olahan yang siap dikonsumsi.
Ketiga, dilakukan pengendalian harga susu terkait dengan harga susu impor dan susu segar yang diserap Industri Pengolah Susu.
Keempat, memberlakukan kembali Inpres No. 2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.
follow our twitter: @livestockreviews
sumber: dewan persusuan nasional | editor: soegiyono