Livestockreview.com, Kampus. Program Swasembada Daging Sapi merupakan program sudah dicanangkan sejak tahun 2005, kemudian direvisi pada tahun 2010. Akan tetapi sampai sekarang, bisa kita lihat bersama belum bisa kita lihat hasilnya secara signifikan. Klaim dari pemerintah pengertian dari swasembada ialah ketika 90% kebutuhan daging nasionla bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, 10% sisanya boleh dari impor.
Data terbaru BPS menunjukan samapi dengan saat ini, 17% kebutuhan daging kita masih dipenuhi dengan jalan impor. Sedangkan di sisi lain bisa kita ketahui bersama hasil survey terbaru menunjukan adanya penurunan pada jumlah sapi kita. Yang dulunya berjumlah 16,37 juta ekor sekarang hanya 14,17 juta ekor. Sehingga ini bisa menjadi salah satu indikasi kondisi swasembada terancam gagal.
Keterangan di atas adalah dari segi produksi, sekarang kita lihat bersama dari sisi konsumsi. Dua sisi dari hal ini, satu sisi membahagiakan, disisi lain membuat cemas. Hal ini dikarenakan ternyata konsumsi daging masyarakat indonesia lambat laun terus mengalami peningkatan. Maka korelasinya, jumlah daging yang harus kita sediakan juga semakin meningkat.
Kedua penjelasan diatas merupakan bukti gagalnya pencapaian swasembada daging sapi. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi semua ini. Maka inovasi kebijakan lain sekiranya perlu untuk benar-benar merealisasikan program ini.
Pengertian daging menurut Soeparno (2005) adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya merupakan produk semi akhir dari proses yang panjang sebelumnya. Dari daging ini juga bisa kita olah lagi menjadi aneka produk makanan yang kita bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Proses yang panjang sebelumnya bisa kita kerucutkan lagi menjadi 2 hal yaitu produksi dan distribusi. Banyak faktor yang menyebabkan masih belum terpenuhinya kebutuhan konsumsi daging masyarakat negeri ini. Kita mulai dari permasalahan dibidang produksi. Pada fase ini bisa kita sebut fase kompleks, karena selain permasalahan waktu yang panjang, biaya (modal), masih banyak hal yang berperan.
Yang pertama coba kita ulas yaitu bagian waktu yang panjang. Butuh waktu panjang dari mulai sapi dalam masa partus (9 bulan), sampai menjadi sapi siap potong (2-4 tahun). Sehingga kaitannya dengan biaya tadi, butuh biaya yang sangat besar baik untuk pakan, operasional maupun tenaga kerja.
Permasalahan yang kedua ialah perangkat-perangkat dalam proses produksi ternak. Seperti kita ketahui bersama bahwa pakan kita masih banyak yang impor, ‘berebut’ dengan komoditi pangan manusia, serta mahalnya harga pakan yang tersedia. Selain itu, ongkos untuk pekerja dan operasional lainnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga ini pula yang menjadi salah satu penyebab kebanyakan peternak kita hanya menjadikan aktivitas beternak hanya menjadi pekerjaan sambilan.
Selanjutnya yaitu kita lihat dari sisi distribusi. Salah satunya yaitu belum memadainya transportasi yang dipergunakan sebagai sarana untuk memindah dari tangan produsen ke tangan konsumen. Selain karena belum meadainya transportasi sehingga berefek pada penyusutan berat potong juga mahalnya biaya untuk memindahkan ternak hidup misalnya dari NTT ke Jakarta, dsb. Menurut Berutu (2007) rata-rata penyusutan minimal bobot sapi dengan transportasi 1 jam adalah 2 kg, selain itu juga biaya minimal transportasi selama 1 jam adalah Rp 35.350,- (Berutu, 2007). Sehingga tentu ini sangat merugikan jika terus dilakukan.
Permasalahan lainnya yaitu dalam memasarkan ternak, masih dirugikan karena panjangnya rantai pemasaran. Banyak tahap sehingga ternak bisa sampai di rumah potong. Mulai dari peternak ke pedagang lokal, lanjut ke pedagang kabupaten, propinsi dan seterusnya sehingga berakibat naiknya harga sapi ditingkat akhir serta minimnya keuntungan yang diperoleh oleh peternak, karena justru keuntungan lebih banyak diperoleh oelh pedagang perantara tadi. (BERSAMBUNG)
Ajat Santoso, Surya Primadi, dan Deni Setiadi, Mahasiswa Fakultas Peternakan UGM
Penyaji Terbaik pada Call For Policy Paper dalam Temu Ilmiah Mahasiswa Peternakan Indonesia oleh ISMAPETI, di Bengkulu, 7-12 Nopember2013 | editor: sitoresmi fauzi