Livestockreview.com, Referensi. Usaha peternakan di Jawa Tengah kembali diguncang wabah antraks (anthrax) setelah ditemukannya pada 9 warga Dukuh Tangkisan, Desa Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali setelah makan daging sapi yang sakit. Berdasarkan data Dinkes Pemkab Boyolali, tahun 1992 wabah antraks pernah terjadi di kabupaten itu, tepatnya Desa Kopen Kecamatan Teras.Saat itu 25 orang dinyatakan positif terjangkit, 18 di antaranya meninggal. Ini membuktikan bahwa antraks bisa menimbulkan bahaya laten bagi daerah yang sudah pernah terjangkit sebelumnya. Laten dalam arti ’’tersembunyi’’ dan berisiko berjangkit kembali. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk wabah antraks seperti yang menyerang ternak di Boyolali belakangan ini.
Penyakit antraks sangat ditakuti karena bisa menyerang semua jenis ternak, seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan babi. Penyebabnya adalah bakteri yang dapat mematikan ternak, mudah menyebar, sulit dimusnahkan, dan bersifat zoonotik (dapat menular pada manusia).
Kasus wabah an-traks menimbulkan beberapa dampak negatif, di antaranya peternak khawatir akan nasib ternak mereka yang merupakan sumber mata pencaharian. Peternak dari daerah yang terkena wabah akan kesulitan menjual ternaknya keluar daerah sampai ada keputusan dari dinas terkait.
Peternak dari daerah lain pun khawatir penyakit itu menular, termasuk imbasnya pada penurunan konsumsi daging sapi dalam kurun waktu tertentu. Antraks merupakan sebagian dari keluarga basillus-bacterium dengan bentuk panjang.
Nama ilmiahnya Bacillus anthracis berukuran agak besar, 1-1.5um x 4-10um. Bakteri tersebut bisa dibiakkan baik secara aerobik (dengan oksigen) ataupun anaerobik (tanpa oksigen) dan mempunyai gen serta ciri-ciri menyerupai Bacillus cereus, sejenis bakteri yang biasa didapati dalam tanah di seluruh dunia.Juga menyerupai Bacillus thuringiensis, patogen kepada larva Lepidoptera. Antraks merupakan bakteri yang pertama dibuktikan sebagai puncak penyakit dan dapat membentuk spora yang tahan lama.
Provinsi endemis antraks
Sejarah penyakit itu masih samar-samar. Namun, para ahli menduga penyakit itu sudah ada sejak zaman Mesir Kuno, dan masuk kali pertama kali ke Indonesia tahun 1884 dengan menyerang ternak kerbau di Telukbetung Sumatra, sebagaimana diberitakan oleh Javanesche Courant.
Menurut Kementerian Pertanian (2001), di Indonesia ada 10 provinsi daerah endemis yakni Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
Langkah Pencegahan
Ternak yang terserang bisa ditandai dengan gejala suhu tinggi, gemetar, tampak gelisah, tidak mau makan, susah bernapas, detak jantung tidak beraturan, selalu terjatuh, ada pembengkakan di leher dan sisi lambung, serta mati mendadak dalam waktu 1-2 hari. Ternak yang mati oleh penyakit itu tidak boleh disayat karena bakterinya akan menyebar ke tanah, dan bertahan hidup dalam bentuk spora selama 30-50 tahun. Bakteri Bacillus anthracis ini tidak mati walapun direbus dalam air panas 100 derajat Celcius.
Penularan pada manusia dapat terjadi karena mengonsumsi daging yang sudah terkena bakteri, adanya kontak dengan hewan yang sakit , atau terkena tanah yang tercemar bakteri. Bakteri penyakit itu bisa masuk ke tubuh manusia melalui kulit, paru-paru, atau saluran pencernaan.
Gejala umum pada manusia berupa luka berwarna hitam, yang makin lama makin meradang, berbentuk bisul atau borok di kulit, juga mengalami halusinasi buruk, dan pernapasannya terganggu.
Mengingat sifat laten penyakit tersebut, perlu langkah pencegahan dan pengendalian tepat secara kontinu, danmerupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua pihak, seperti dinas yang terkait, Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), balivet, asosiasi peternak, pedagang ternak, perguruan tinggi dalam hal ini Fakultas Kedokteran dan juga kesadaran masyarakat sebagai konsumen.
Tindakan pengendalian bisa dilakukan dengan mengobati hewan yang terjangkit, vaksinasi, pengawasan lalu lintas ternak, pengawasan rumah pemotongan hewan, dan penyuluhan. Pemerintah harus berani mengganti ternak yang sakit antraks agar tidak ’’disalahgunakan’’, disembelih dan dijual hingga dagingnya beredar.
SM | Dedy Winarto SPt MSi, Staf Pengajar Peternakan Universitas Muhammadiyah Purworejo