Livestockreview.com, News. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi atau anak yang disebabkan oleh antara lain kurangnya asupan gizi selama masa ibu hamil, kebutuhan gizi bayi atau anak tidak tercukupi, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai gizi sebelum hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan.
Stunting sangat merugikan bagi pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, karena orang dengan stunting tidak akan dapat bersaing secara fisik, akademik hingga terganggu sisi kesehatannya. Itulah sebabnya Pemerintah telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan yang signifikan dari kondisi 24,4% pada 2021 menjadi 14% pada 2024.
Salah satu cara untuk mencegah stunting adalah dengan konsumsi protein hewani. Dalam di 1.000 hari kehidupan pertama, terjadi pertumbuhan otak yang berjalan dengan pesat, dan setelah itu otak sudah tidak lagi begitu berkembang. Dan dalam perkembangannya tersebut, otak membutuhkan asupan protein yang cukup. Terlebih kebutuhan akan asam amino yang ada di produk hewani. Dalam pemilihan protein hewani tersebut tidak harus mahal. Banyak produk pangan protein hewani yang murah dan terjangkau seperti telur dan daging ayam.
Agar dapat semakin banyak dikonsumsi masyarakat secara luas, maka harga produk unggas sebaiknya dapat makin terjangkau oleh konsumen, sehingga konsumen bisa membeli. Namun, di sisi lain peternak selaku produsen juga tetap untung. Hal itu disampaikan oleh Rochadi Tawaf dari Fapet Universitas Padjajaran yang juga Dewan Pakar PB ISPI dalam presentasinya pada seminar yang mengangkat tema ‘Peningkatan Konsumsi Protein Hewani sebagai Upaya Penurunan Angka Stunting’ di sela-sela penyelenggaraan Pameran Indolivestock di Surabaya pada Kamis (27/7).
Untuk itu, para pelaku usaha perunggasan disarankan untuk dapat lebih adaptif dengan kondisi saat ini baik dalam hal iklim bisnis di era disrupsi maupun dalam hal pemanfaatan teknologi perunggasan yang marak saat ini.
Rochadi menjelaskan adanya era disrupsi inovasi, yakni inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya perubahan bisnis masa depan seperti pada sektor produksi dibutuhkan terbentuknya smart farming melalui transformasi proses produksi, produk dan pasar, serta inovasi teknologi digital dan segi pembiayaannya.
Para pelaku bisnis unggas juga senantiasa mengantisipasi terjadinya transformasi konsumen atau pasar saat ini: masyarakat yang mulai sadar akan gizi protein hewani: menerapkan gaya hidup sehat; mementingkan aspek kepraktisan dalam berbelanja makanan; penggunaan digital market beserta kemudahan pengiriman dan pembayarannya; tumbuhnya industri kuliner, dan lain-lain. LR