Livestockreview.com, Referensi. Usaha peternakan rakyat, sebagai salah satu penopang utama kehidupan bangsa, telah tergerus arus liberalisasi dan kehilangan kedaulatan. Secara sistemik, peternakan rakyat justru mengalami degradasi baik karena terjadi penyimpangan yang sangat jauh antara kebijakan dan praktik.
Tidak mudah untuk menerjemahkan seruan itu ke dalam langkah strategis dan tindakan-tindakan konkret karena kita seolah tidak berdaya menolak irama permainan yang dikumandangkan globalisasi dan liberalisasi. Meskipun peternakan rakyat berkorelasi langsung dengan ketahanan pangan, dan karenanya juga berdampak langsung pada kelangsungan hidup masyarakat, kesadaran publik terhadap isu-isu pertanian juga relatif rendah. Peternak terpinggirkan dalam arti sebenar-benarnya.
Indonesia yang dulu pernah membanggakan diri sebagai negeri agraris kini mengalami keterpurukan di sektor itu mulai dari hulu sampai hilir. Minimnya populasi peternakan rakyat, daya saing peternakan rakyat yang rendah, dan kesejahteraan peternak yang belum membaik adalah sedikit dari sekian contoh bukti keterpurukan tersebut. Liberalisasi di bidang industri peternakan pada kenyataannya hanya memberi panggung yang lebih luas bagi negara maju untuk bermain.
Tiga hal penting yang berkontribusi pada situasi genting di bidang peternakan rakyat, yakni penurunan produksi, konversi budidaya, serta dukungan dan implementasi kebijakan yang lemah – adalah gejala di permukaan yang sudah tampak. Tanpa proteksi terhadap peternakan rakyat dan peternak, liberalisasi di industri peternakan telah mengakibatkan peternak yang mayoritas adalah peternak kecil dengan pemeliharaan ternak tidak lebih dari 50 ekor, menjadi tertinggal dan tergilas dalam praktik kapitalisasi. Terjadilah kemudian pemiskinan.
Padahal, belajar dari pengalaman di banyak negara, peternakan rakyat tidak pernah ditinggalkan dan bahkan mendapat perhatian sangat penuh dari pemerintah. Korea Selatan misalnya, menyadari kondisi negaranya yang tandus, mencurahkan investasi besar mengembangkan masyarakat peternak untuk membangun peternakan rakyat yang andal. Sungguh ironis apabila Indonesia yang lebih subur justru menjadi ‘’budak’’ dalam mesin liberalisasi industri peternakan.
Liberalisasi industri peternakan sesungguhnya telah dimulai sejak 1947 dengan terbentuknya Great Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan mengalami percepatan setelah Putaran Uruguay. Karena itu, fokus perhatian kita saatnya ini tidak hanya berputar pada persoalan proteksi tetapi pada bagaimana membangun peternakan rakyat dan masyarakat peternak agar mampu bermain dalam sistem dan mekanisme global. Kedaulatan peternakan rakyat berada dalam situasi sangat genting.