
Selain memang tak begitu peduli, ada juga kemungkinan konsumen tidak bisa membedakan antara daging glonggongan dan daging yang diperoleh dengan pengelolaan secara wajar. Kecuali orang yang tahu persis ciri-cirinya dan cermat memperhatikan, agak sulit membedakan kedua jenis daging tersebut. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang belum terlalu cerah sebagaimana sekarang, harga murah sering menjadi pertimbangan utama. Konsumen daging glonggongan tidak menyadari telah ditipu mentah-mentah dan dirugikan.
Penelitian yang dilakukan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang beberapa waktu lalu menyebutkan berbagai segi dari daging glonggongan yang merugikan konsumen. Antara lain angka susut daging glonggongan mencapai 40,93%, sedangkan daging sehat 35,30%. Kandungan nutrisi daging glonggongan pun hanya 20,65%, sedangkan daging sehat 26,47%. Harga bahan kering atau nutrisi per kilogram daging glonggongan jauh lebih mahal, yakni Rp 184.917, sedangkan daging sehat Rp 162.426. Praktik peng-glonggongan memang didasari oleh motif ekonomi, yakni memperoleh keuntungan tinggi dengan cara yang tidak manusiawi.
Harus diakui, biaya pakan dalam usaha peternakan memang mahal. Angkanya bisa 60% hingga 80% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan. Apalagi jika produknya berupa daging atau susu, karena gizi sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasilnya.
Di samping itu, jenis ternak besar seperti sapi, butuh waktu cukup lama untuk menghasilkan daging dalam jumlah dan mutu yang baik. Tak mengherankan jika kemudian muncul teknik yang bisa menghasilkan daging dengan berat tertentu dalam waktu singkat, yakni melalui cara meng-glonggong ternak atau memberikan air dengan jumlah banyak. Teknik tersebut memang bisa memangkas biaya, tetapi merugikan konsumen.
Sebenarnya sudah ada peraturan terkait dengan peng-glonggongan tersebut. Praktik itu melanggar Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. Di samping itu, praktik itu juga melanggar UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat (1) butir a. Sanksi terhadap pelanggarnya adalah lima tahun penjara atau denda maksimal Rp 2 miliar. Peng-glonggongan juga melanggar Pasal 8 UU Nomor 7/1996 tentang Pangan dan yang melanggar dikenai hukuman lima tahun atau denda Rp 600 juta. Jadi, rambu-rambunya sudah ada, tetapi hingga sekarang jarang diterapkan.
Jadi, jangan biarkan kasus daging glongglongan berlarut-larut. Selain dari sisi agama Islam diharamkan, dari sisi konsumen juga merugikan. Tak ada jalan lain kecuali menghentikan praktik kurang bertanggung jawab tersebut. Instansi terkait harus rajin melakukan operasi ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, dan kalau perlu ke peternakan-peternakan tanpa menunggu laporan atau keluhan masyarakat.
Pelaku yang tertangkap harus diadili untuk menimbulkan efek jera terhadap yang lain.
Cap khusus bagi daging yang memenuhi syarat ada baiknya disosialisasikan lagi. Namun konsumen pun perlu cermat. Jika tidak laku, praktik peng-glonggongan tentu tak akan merebak. penulis & editor: sugiyanto (sm)