Livestockreview.com, Opini. Antraks yang juga dikenal dengan nama splenic fever (radang limpa), kembali mewabah. Ini setidaknya terjadi di Boyolali, Jawa Tengah. Di Sleman Yogyakarta juga pernah dilaporkan ada kasus antraks pada hewan ternak pada tahun 2003. Berbicara masalah penanganan wabah antraks di Indonesia sebenarnya, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, dalam hal ini Dinas Peternakan/Kesehatan Hewan. Misalnya sosialisasi gejala klinis, pemantauan di pasar-pasar daging dan pengawasan ketat daging dan ternak dari luar daerah. Apalagi, dalam situasi wabah, pengawasan semakin diperketat, jangan sampai penyakit menyebar ke wilayah lain.
Yang terjadi di lapangan, mengapa wabah antraks seolah tidak bergeming. Peternak sapi dan masyarakat luas was-was. Apa ada yang kurang tepat dalam manajemen penanganan wabah antraks?
Penyakit antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang berbentuk batang, bersifat Gram-positif dan aerobik yang berukuran panjang 1-9 mikrometer. Bacillus anthracis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1876.Di Indonesia, B antraks sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejarah menunjukkan, bahwa pada tahun 1885 Kolonial Verslag, seorang pejabat tinggi Belanda telah melaporkan adanya penyakit antraks di Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung.
Sejak saat itu, penyakit antraks yang penanganannya tampaknya seperti ‘pemadam kebakaran’, kini malah semakin meluas dan menyebar ke mana-mana. Sebut saja pulau Sumatera (Palembang, Lampung, Bengkulu, Tapanuli), pulau Jawa (Jawa Barat, Tengah dan Timur), Nusa Tenggara Barat dan Timur, Kalimantan dan Papua. Fenomena wabah antraks sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain, termasuk negara yang sudah maju sekalipun. Latar belakang permasalahannya, antraks merupakan salah satu zoonosis yang penting dan seringkali menyebabkan kematian pada manusia. Tidak jarang terjadi, antraks membumi, benar-benar masuk bumi (baca: tanah) sebagai tempat peristirahatannya yang dapat tahan, hidup puluhan atau bahkan ratusan tahun di dalam tanah.
Pada umumnya, hewan penderita antraks akan mengalami kematian kurang lebih 7 hari setelah terinfeksi. B. anthracis menyebabkan kematian pada penderita karena menghasilkan racun, yaitu eco-toxin dan lethal toxin. Bahkan, hewan penderita antraks tanpa menunjukkan gejala klinis sebelumnya. Inilah yang terjadi pada banyak kasus antraks pada hewan di Indonesia.
Jangan terlambat mendeteksi
Jika sampai deteksi kasus antraks terlambat dan hewan penderita mati dengan gejala klinis berupa keluarnya darah yang gelap pekat dari lubang-lubang alami, maka penanganan terhadap keamanan kesehatan lingkungan akan menjadi lebih rumit.
Diperlukan karantina ketat di daerah wabah karena B. anthracis yang keluar bersama darah atau daging yang terbuka akan membentuk spora. Domba paling mudah terserang antraks diikuti sapi dan kuda. Kerbau, ruminansia kecil lain (selain domba) dan babi lebih tahan terhadap antraks. Anjing dan kucing jarang sekali terinfeksi penyakit antraks.
Meskipun unggas tahan terhadap infeksi antraks tetapi antraks pada unggas, mulai menjadi perhatian, setelah adanya wabah antraks pada ribuan burung Onta di daerah Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 2000. Penyakit antraks meminta korban manusia di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1980 dan Jawa Barat pada tahun 2004. Akar permasalahannya, pemeriksaan daging dan hewan ternak dilakukan secara fisik karena jika harus melalui uji laboratorium dibutuhkan waktu yang lama.
Bahkan, ada Pemkab yang menyatakan daerahnya bebas antraks tetapi tampaknya tanpa pemeriksaan laboratorik yang memadai. Artinya, tidak dilakukan diagnosa dini ada/tidaknya antigen (antraks) dalam tubuh hewan bersangkutan. Sehingga, tidak aneh antraks baru diketahui setelah mewabah. Namun ironisnya, meskipun banyak wilayah endemik antraks di Indonesia, tidak ada upaya serius pengembangan dan penyediaan perangkat diagnosis antraks yang memadai dan aman.
Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah? Adanya keunikan wabah antraks tersebut, akses ketersediaan perangkat diagnosis modern berbasis imunopatologis yang aman, mudah diterapkan di daerah dan dapat dikerjakan dengan cepat tidak membutuhkan waktu lama. Sudah saatnya, dirancang dan diterapkan untuk mempertegas kejelasan daerah bebas antraks. Sementara itu, perlu lebih ditekankan arti penting tanggung jawab bersama berbagai instansi terkait, partisipasi aktif petani peternak dan masyarakat luas. follow our twitter: @livestockreview
KR | Prof.Wasito, PhD, Guru Besar Ilmu Penyakit Hewan UGM, Yogyakarta