
IPB meneliti 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi produksi 2003-2006. Hasilnya, 22,73 persen sampel susu formula dan 40 persen sampel makanan bayi positif terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii yang bisa membahayakan kesehatan bayi. Hasil penelitian diumumkan pada Februari 2008 tanpa menyebutkan merek produk yang terkontaminasi.
Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, peristiwa seperti ini sudah berulang terjadi. Masyarakat sering dihebohkan dengan temuan zat kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks, sebagai bahan pengawet makanan. Namun, tanggapan pemerintah cenderung reaktif.
Oleh karena itu, ke depan perlu ditemukan cara yang semestinya dilakukan oleh semua komponen masyarakat agar tidak selalu heboh sesaat begitu ada kejadian, lantas masuk peti es.
Jika membahayakan, harus ditarik dari peredaran
Pemerintah harus bertindak cepat menuntaskan kasus keamanan pangan seperti susu formula yang terkontaminasi ini. Pertama, adalah tugas pemerintah memberikan rasa aman kepada konsumen. Kedua, melindungi produsen pangan yang jujur agar tidak bangkrut. Ketiga, penegakan hukum.
Pasal 47 PP No 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan, jika produk pangan membahayakan kesehatan dan jiwa manusia harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan hukum ini menjadi kata kunci agar kasus-kasus serupa tidak terulang pada masa mendatang.
Di sisi lain, kasus ini bisa menjadi momentum awal kampanye nasional gerakan ibu menyusui. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), kini tinggal 61 persen ibu yang mau menyusui bayinya selama empat bulan dan hanya 35 persen yang menyusui hingga enam bulan.
sumber : toto subandriyo (di harian kompas) | editor: ria laksmi