Livestockreview.com, Tokoh. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh penyebaran virus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) telah menimbulkan korban yang cukup tinggi di Asia Tenggara dan pada belahan wilayah Asia Timur lainnya. Lebih dari 200 orang korban meninggal dunia dan lebih dari 200 juta ekor unggas telah dipotong atau dimusnahkan. Sejak pertama kali diidentifikasi pada tahun 2003, penyakit tersebut telah menjadi endemi pada 31 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Di antara berbagai penyakit unggas lainnya seperti tetelo, gumboro, dan sebagainya, flu burung dianggap sebagai penyakit yang paling signifikan menurunkan kinerja ekonomi, khususnya bagi Sektor Perunggasan Non-Industri Komersial (NICPS) serta sektor unggas pedesaan (tradisional).
Non-Industrial Commercial Poultry Sector (NICPS) atau Sektor Perunggasan Non-Industri Komersial didefenisikan sebagai usaha ternak unggas komersial yang tidak dimiliki dan tidak dikelola oleh tujuh perusahaan besar multinasional yang beroperasi di Indonesia. Sektor ini terdiri dari usaha ternak unggas pedaging dan petelur mulai dari produsen skala kecil semi-komersial mandiri (500 ekor) dengan tingkat biosekuriti rendah atau minim hingga produsen skala besar yang terintegrasi (100.000 ekor) dengan penerapan sistem biosekuriti yang lebih baik.
Pengawasan terhadap penyakit flu burung di Indonesia harus menjadi prioritas mengingat dampaknya yang cukup tinggi terhadap tingkat kematian ternak unggas, penurunan permintaan terhadap unggas dan produk unggas pada wilayah yang terinfeksi, peningkatan korban kematian manusia, dan risiko pandemi global.
HPAI berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan bagi produsen (penurunan pendapatan dan sumber protein), konsumen (kenaikan harga), dan jasa pelayanan ternak (penurunan permintaan). Dampaknya cukup luas, baik di tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan pembatasan perdagangan unggas dan permintaan bantuan dalam penanggulangan HPAI. Dampak berikutnya adalah risiko terhadap timbulnya pandemi global.
Berbagai sumberdaya telah dialokasikan pemerintah Indonesia bersama organisasi donor guna mengontrol penyebaran HPAI di sektor unggas pedesaan. Akan tetapi, realisasi alokasi sumberdaya tersebut seyogianya lebih diarahkan pada sektor perunggasan non-industri komersial, yakni dalam rangka mengontrol HPAI. Peningkatan biosekuiti pada sektor ini dapat menurunkan kemungkinan penyebaran penyakit sehingga pada gilirannya dapat pula menurunkan risiko terinfeksi banyaknya ternak unggas yang di jual pada pasar-pasar unggas hidup.
Dalam rangka mencapai tujuan di atas, diperlukan dukungan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan sistem perdagangan unggas, khususnya unggas hidup di pasar-pasar tradisional. Mengingat usaha ternak unggas yang bertumpu pada industri mensyaratkan adanya integrasi dan kepemilikan proyek oleh industri perunggasan dan masyarakat setempat, maka perlu berapa masukan dan pengembangan kerjasama antar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), mulai dari kalangan asosiasi perunggasan nasional dan perusahaan perunggasan sektor-1 hingga pedagang pengumpul unggas di desa, pedagang di pasar tradisional, dan peternak.
Hal itu akan memerlukan integrasi kegiatan dengan berbagai donor. Saat ini kegiatan yang bersifat bilateral maupun multilateral tengah menyediakan berbagai bantuan, sebagian besar di sektor-4, tetapi kepentingan untuk melakukannya di sektor-3 meningkat mengingat kenyataan kemungkinan perannya dalam penyebaran HPAI.
Untuk itulah Pusat Biosekuriti Unggas Indonesia (PBUI) hadir dalam menjawab tantangan tersebut. PBUI merupakan sebuah Non-Government Organization (NGO), yang saat ini dibiayai melalui proyek ACIAR (Australian Centre for International Aricultural Research) AH/2006/169 “Cost-effective biosecurity for non-industrial commercial poultry operations in Indonesia”.
VISI PBUI
“Biosekuriti bagi ternak (unggas), manusia dan lingkungan”
(“Biosecurity for poultry, human and environment”)
MISI PBUI
“Meningkatkan kemampuan ekonomi para produsen unggas pedaging dan petelur melalui kesinambungan penerapan biosekuriti dengan biaya efektif”
“To improve the economic viability of commercial broiler and layer producers through the sustainable adoption of cost-effective biosecurity measures”.
TUJUAN PBUI
- Mengembangkan suatu pendekatan yang bertumpu pada industri dan pendukungnya untuk meningkatkan biosekuriti usaha ternak unggas di sektor perunggasan non-industri komersial,
- Mendefinisikan langkah/tindakan biosekuriti yang akan memperbaiki penerapan biosekuriti dan kemampuan ekonomi sektor perunggasan non-industri komersial, dan
- Memfasilitasi adopsi tindakan biosekuriti dengan biaya efektif oleh peternak dan masyarakat di sektor perunggasan non-industri komersial.
Proyek ini memiliki esensi yang melekat pada industri perunggasan, yakni dalam bentuk pengembangan insentif melalui kebijakan dan dukungan kerjasama kegiatan. Untuk itu, perlu dibangun kerjasama kelembagaan mulai dari tingkat nasional melalui BCG (Biosecurity Consultative Group/Kelompok Konsultatif Biosekuriti) yang bernaung di bawah FMPI (Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia) hingga tingkat provinsi (Bali, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat) melalui PSC (Provincial Steering Committee/Panitia Pengarah Provinsi) yang terdiri dari kalangan instansi pemerintah, asosiasi peternak, akademisi, dan perusahaan-perusahaan unggas komersial. Pada setiap provinsi, kegiatan proyek akan dikoordinasikan oleh PPC (Provincial Project Coordinators/Koordinator Proyek Provinsi) yang orang-orangnya pada awalnya akan dilatih oleh Unit Pelaksana Proyek di bawah arahan PSC yang selanjutnya ditempatkan pada institusi-institusi pendukung yang akan ditentukan oleh Panitia Pengarah Provinsi melalui kegiatan pendahuluan proyek. Selanjutnya, Koordinator Proyek Provinsi diharapkan dapat menjadi aset sumberdaya yang berdayaguna dalam penyediaan jasa pelatihan, penyuluhan, dan pelayanan biosekuriti bagi industri perunggasan. Sementara itu, PBC (Poultry Biosecurity Center/Pusat Biosekuriti Unggas Indonesia) akan menyediakan jasa sumberdaya di tingkat nasional dalam bentuk pelayanan biosekuriti, informasi, dan pelatihan.
KOMUNIKASI DAN DISEMINASI
Kegiatan proyek akan dilaksanakan melalui kerjasama antar berbagai asosiasi industri perunggasan dengan sumbangan pemikiran dan tindakan dari kalangan perguruan tinggi, instansi pemerintah, dan ACIAR.
Proyek akan diimplementasikan dalam kerangka kebijakan nasional dan kegiatan industri perunggasan melalui lembaga BCG (Biosecurity Consultative Group/Kelompok Konsultatif Biosekuriti), serta kegiatan pelatihan dan penyuluhan di bawah PBC (Poultry Biosecurity Center/Pusat Biosekuriti Unggas Indonesia). BCG dan PBC akan menjamin kepemilikan industri perunggasan dan mengizinkan pengembangan kemitraan yang saling menguntungkan dengan pihak donor dan penyedia jasa seperti peneliti dari kalangan pemerintah dan swasta. PPC (Provincial Project Coordinator/Koordinator Proyek Provinsi) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali akan dilatih dan ditugaskan untuk mengimplementasikan kegiatan proyek pada komunitas terpilih. Solusi dalam kendala kelembagaan yang sekiranya mempengaruhi adopsi penerapan biosekuriti (misalnya pemasaran pada pasar tradisional) akan diujicobakan.
Kegiatan kunci yang terkait dengan komunikasi dan diseminasi akan dirancang oleh PBC bersama PSC (Provincial Steering Committee/Panitia Pengarah Provinsi). PBC akan menjadi lembaga pusat koordinasi yang permanen dalam melayani pelaksanaan program pelatihan dan penyuluhan biosekuriti di Indonesia. PBC akan membantu pengelolaan informasi proyek dan kesekretariatan serta humas, dimana kegiatannya berhubungan erat dengan PPC dan lembaga lainnya seperti Ditjen Peternakan , ahli epidemiologis, dan ahli kehewanan dalam penyusunan materi pelatihan dan penyuluhan dan sekaligus menjadi nara sumber dalam penerapan materi-materi tersebut. PBC memiliki hubungan kerja dengan pemerintah dan industri perunggasan dalam rangka sama-sama mengembangkan penerapan standar biosekuriti serta sistem audit dan akreditasi produk unggas.
PSC akan ditempatkan pada setiap provinsi dengan anggota representasi unit kesehatan hewan setempat, pemerintahan provinsi dan kabupaten, perguruan tinggi, dan ACIAR. PSC selanjutnya akan berperan sebagai penasehat kegiatan proyek seraya mengembangkan konsultasi bagi para pemangku kepentingan perunggasan tingkat provinsi.
Segenap sumberdaya akan dialokasikan untuk pelatihan peternak dan tenaga pelatih teknis lainnya, diiringi dengan fasilitasi pengenalan sistem biosekuriti bagi masyarakat. Implementasinya adalah melalui akreditasi bagi para tenaga pelatih teknis dan auditor, akreditasi usaha ternak unggas, penyedian bantuan, kredit jasa pelayanan pemasaran dan keanggotaan bagi para peternak unggas. Selanjutnya, para peternak unggas tersebut akan diarahkan untuk menerapkan biosekuriti minimum pada sistem dan struktur harga yang mereka lakukan dan hadapi dalam usaha peternakan unggas. Untuk itu, baik media lokal maupun media nasional akan dimanfaatkan dalam rangka penyebarluasan program- program dalam penerapan biosekuriti pada usaha ternak unggas.
ASPEK KELEMBAGAAN
BCG : Biosecurity Consultative Group
Ir. Don P Utoyo, MBA | Ketua FMPI | Koordinator BCG |
Dr.Ir. Arief Daryanto, MEc | Direktur MB-IPB | Anggota BCG |
Ir. Tri Hardiyanto | Ketua Umum GOPAN | Anggota BCG |
Drh. Hartono | Ketua Umum PINSAR | Anggota BCG |
Dr Teguh Prajitno | PT Japfa Comfeed Indonesia (JCI) | Anggota BCG |
Drh Sudirman MBA | PT Biotek Indonesia | Anggota BCG |
Dr. Ian Patrick | ACIAR | Anggota BCG |
NATIONAL MANAGEMENT
Drh. Didin Sudiana, MM | ACIAR | Penghubung Industri dan Manajemen |
Drh. Dewa M.N. Dharma, MS, PhD | ACIAR | Manajer Pelatihan |
PROVINCIAL PROJECT COORDINATOR
Drh. Bugie Kurnianto Prasetyo | IPB | PPC Jawa Barat |
Ir. Ni Putu Sarini, MS | Universitas Udayana | PPC Bali |
Drh. Amir Hamid | ACIAR | PPC Sulawesi Selatan – Penghubung Industri dan Manjemen |
Hasmida Karim, SPt | ACIAR | PPC Sulawesi Selatan – Training |