Livestockreview, Referensi. Adanya residu merupakan suatu permasalahan serius yang selama ini mungkin diabaikan oleh konsumen. Sebab, pengaruh yang ditimbulkannya memang tidak terlihat secara langsung. Daging dan telur ayam yang mengandung residu antibiotik, misalnya, kalau dikonsumsi secara terus-menerus akan menurunkan kesehatan manusia karena memicu alergi, keracunan, risiko karsinogenik dan teratogenik, serta yang paling utama timbulnya resistansi antibiotik. Adanya mikroba yang resistan dapat menjadi penyebab kegagalan pengobatan penyakit infeksi pada manusia sehingga meningkatkan biaya pengobatan.
Sebuah penelitian terbaru International Pollutants Elimination Network (IPEN) di Tropodo, Sidoarjo, yang dirilis November 2019 menunjukkan bahwa sejumlah sampel ayam kampung milik warga yang sehari-hari mencari makan di tumpukan limbah plastik impor menghasilkan telur-telur yang memiliki tingkat kontaminasi racun dioksin. Konsentrasi dioksin dalam telur ayam kampung dari Tropodo juga cukup besar (200 pg TEQ g-1 lemak) atau 70 kali lebih tinggi dari standar keselamatan yang ditetapkan European Food Safety Authority (EFSA).
Merespons hasil penelitian tersebut, tentu kita harus hati-hati. Pertama, melihat sampel yang diambil, tentu itu sebuah studi kasus yang hasilnya tidak bisa digeneralisasi. Kedua, sampel diambil dari kawasan yang memang terpapar sampah plastik dan menggunakannya untuk pembakaran produksi tahu. Ketiga, sampel diambil dari ayam kampung yang dipelihara secara ekstensif. Produksi telur ayam Jatim didominasi telur ayam ras yang dibudidayakan secara intensif. Salah satu ciri dari budi daya intensif adalah manajemen budi daya yang baik (good farming practices) dengan disertai biosekuriti yang ketat.
Dari data BPS, produksi telur ayam di Jatim (2018) sebanyak 520.092.092 kg. Perinciannya, telur ayam ras 455.810.537 kg (87,64 persen), telur itik 39.027.013 kg (7,50 persen), telur ayam kampung 20.881.520 kg (4,01 persen), dan telur puyuh 4.373.022 kg (0,85 persen). Sumbangan telur ayam kampung dari Kabupaten Sidoarjo hanya 219.774 kg (0,04 persen). Tentu saja jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan produksi telur Jatim.
Selain residu dioksin, penelitian soal residu pada produk ternak sudah banyak dilakukan. Menurut Etikaningrum (2017), residu antibiotik pada daging ayam meliputi sulfa, oksitetrasiklin, enrofloksasin, dan tetrasiklin. Lalu, pada hati ayam, jenis residunya oksitetrasiklin, siprofloksasin, enrofloksasin, makrolida, dan tetrasiklin. Nidom (2019) menyatakan, dari sampel daging dan telur dari pasar modern dan tradisional di Surabaya dan Jakarta, ternyata telur, daging, hati, maupun ceker memiliki residu antibiotik.
Adanya residu merupakan suatu permasalahan serius yang selama ini mungkin diabaikan oleh konsumen. Sebab, pengaruh yang ditimbulkannya memang tidak terlihat secara langsung. Daging dan telur ayam yang mengandung residu antibiotik, misalnya, kalau dikonsumsi secara terus-menerus akan menurunkan kesehatan manusia karena memicu alergi, keracunan, risiko karsinogenik dan teratogenik, serta yang paling utama timbulnya resistansi antibiotik. Adanya mikroba yang resistan dapat menjadi penyebab kegagalan pengobatan penyakit infeksi pada manusia sehingga meningkatkan biaya pengobatan.
Demikian juga residu dioksin dan bahan kimia perfluorooctanesulfonic acid (PFOS), dapat menyebabkan kerusakan sistem reproduksi dan kekebalan tubuh.
Produk peternakan seperti daging, telur, dan susu merupakan bahan pangan bernilai gizi tinggi. Karena itu, keamanan pangan asal ternak sangat perlu diperhatikan lantaran dapat memengaruhi kesehatan masyarakat. Konsumen produk ternak sudah saatnya mendapat kepastian dan perlindungan bahwa produk ternak yang dikonsumsi benar-benar alami, aman, dan berkualitas. Konsumen juga mendapat jaminan bahwa mereka tidak akan mengalami gangguan kesehatan akibat residu dioksin dan antibiotik.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi konsumen. Di antaranya, melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Di Indonesia, pelarangan penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) sebagai imbuhan pakan tertuang dalam pasal 16 Permentan 14/2017. Pelarangan itu pun efektif sejak 1 Januari 2018.
AGP dilarang karena diyakini menjadi salah satu penyebab berkembangnya bakteri resistan setelah pemberian terus-menerus dengan dosis rendah (subtherapeutic). Akibatnya, dapat membunuh bakteri patogen yang sensitif terhadap antibiotik tersebut, tetapi di sisi lain juga memberi kesempatan bagi bakteri yang tidak mati untuk terus berkembang. Bakteri resistan merugikan manusia.
Selain Kementan, pemda juga berwenang menjamin perlindungan keamanan pangan. Itu sesuai dengan pasal 68 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa pemerintah (pusat) dan pemda menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu. Sesuai ayat 2, keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Dalam kasus di Tropodo, Sidoarjo, pemda setempat sepatutnya mengawasi penggunaan limbah plastik impor yang menjadi tempat ayam kampung mencari makan. Tujuannya, mencegah atau minimal mengurangi tingkat kontaminasi racun dioksin pada telur ayam kampung.
Selain itu, herba bisa digunakan agar ayam yang dipelihara dapat sehat dan menghasilkan telur yang bebas dari residu. Di Indonesia, herba sangat melimpah. Data di Kementan menunjukkan, sekitar 80 persen herba di dunia tumbuh di Indonesia. Negeri ini memiliki sekitar 35 ribu jenis tumbuhan tingkat tinggi dan 3.500 di antaranya dilaporkan sebagai tumbuhan obat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam penyediaan bahan baku herbal untuk pengganti AGP dan limbah plastik impor. Salah satu tanaman alternatif yang bisa dikonsumsi ayam adalah meniran (Phyllanthus niruri linn). Sejumlah zat kimia terkandung dalam meniran. Antara lain, lignan, flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin.
Hasil penelitian Hidanah dkk (2017), penggunaan ekstrak meniran yang dicampur mineral dengan dosis 3–5 kg per ton pakan jadi dapat memacu produksi dan kualitas telur, memacu pertumbuhan, menurunkan konversi pakan, mencegah diare, serta mengeringkan dan mengurangi bau kotoran. Dari penelitian yang sama, meniran dapat mencegah dan mengobati penyakit avian pathogenic escherichia coli (APEC), salmonelosis, juga chronic respiratory disease (CRD) pada ayam pedaging dan petelur yang berpotensi sebagai penghambat pertumbuhan dan produktivitas. Karena itu, ekstrak meniran dapat digunakan untuk pengembangan antibiotik alami dan imunomodulator yang murah dan aman dari residu antibiotik sehingga dapat memaksimalkan pendapatan peternak.
Masih adanya residu dioksin maupun antibiotik pada daging dan telur tersebut menunjukkan bahwa pengawasan terhadap manajemen budi daya dan penggunaan antibiotik masih lemah. Tidak semua peternakan, apalagi peternakan rakyat, memiliki dokter hewan yang mengontrol pemberian obat. Di sisi lain, antibiotik bisa dengan mudah diperoleh di pasaran.
Solusinya, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap manajemen budi daya dan penggunaan antibiotik di lapangan. Masyarakat sebagai konsumen, peternak, dan produsen pakan ternak diharapkan turut berperan dalam menanggulangi bahaya pencemaran residu antibiotik dan dioksin, sehingga harapan untuk dapat menghasilkan produk daging dan telur yang bebas residu serta ramah kesehatan bisa diwujudkan.
Terkait dengan residu dioksin, konsumen tidak perlu khawatir. Sebab, kasus residu dioksin ditemukan lewat penelitian studi kasus yang hasilnya hanya berlaku di tempat penelitian dan tidak bisa digeneralisasi. Kita perlu waspada, tapi konsumsi telur sebagai sumber protein hewani harus tetap berjalan.
follow our ig: @livestockreview.com
penulis: sri hidanah, guru besar ilmu produksi ternak fakultas kedokteran hewan unair (jawapos) | editor: soegiono