Livestock Review Indonesia
  • Home
  • Fokus Utama
  • News
  • Bisnis
  • Referensi
  • Artikel Lainnya
    • Produk Olahan
    • Opini
    • Riset
    • Tokoh
    • Kampus
    • lain-lain
    • Gallery
  • About
    • Tentang Kami
    • Pemasangan Iklan
    • Contact Us
  • Download

Follow us

Facebook
Twitter
Instagram
Livestock Review Indonesia
2K Likes
2K Followers
0 Followers
Livestock Review Indonesia
  • Home
  • Fokus Utama
  • News
  • Bisnis
  • Referensi
  • Artikel Lainnya
    • Produk Olahan
    • Opini
    • Riset
    • Tokoh
    • Kampus
    • lain-lain
    • Gallery
  • About
    • Tentang Kami
    • Pemasangan Iklan
    • Contact Us
  • Download
  • Fokus Utama
  • Referensi

Apa dan Bagaimana Body Condition Score (BCS), sebagai Indikator Kinerja Reproduksi Sapi

  • Livestock Review
  • Feb 13, 2021
  • No comments
  • 84 views
Total
0
Shares
0
0
0
0
0

livestockreview.com, Referensi. Body Condition Score atau disingkat -BCS merupakan cerminan tingkat kesehatan ternak, kecukupan nutrisi dan refleksi cadangan energi ternak betina. Skor BCS yang tinggi dapat diartikan bahwa nutrisi yang dikonsumsi oleh ternak berada pada tingkat yang cukup atau bahkan lebih, begitu pula cadangan energinya.


Umumnya, skor BCS dikaitkan dengan kinerja reproduksi sapi betina, sehingga menjadi dasar pertimbangan untuk mengawinkan ternak atau melakukan inseminasi buatan. Harapannya dengan BCS yang baik, maka akan diperoleh kebuntingan yang berlanjut pada kelahiran, laktasi dan kembali pada siklus reproduksi untuk dapat dikawinkan kembali.

Skor BCS yang ada antara lain menganut sistem skor 1-5, 1-9 dan bahkan ada yang 1-10. Skor ini digunakan secara berbeda untuk sapi perah maupun sapi pedaging. Di Indonesia, skor yang digunakan umumnya adalah adalah 1-5. Menurut IACCB, BCS yang ideal pada sapi untuk siap dikawinkan adalah 3-4. Pada skor < 3 atau > 5 tidak disarankan karena akan berpengaruh pada penurunan kinerja reproduksi ternak.

Tidak saja pada performa dalam perkawinan dan kebuntingan, BCS juga berkaitan dengan kemampuan induk dalam mendukung kehidupan dan perkembangan anak pasca dilahirkan sampai sapih melalui produksi susu yang cukup.

Ternak betina dengan kondisi BCS yang kurang, memiliki resiko peningkatan jarak kelahiran, bobot badan pedet yang rendah, dan kemungkinan terjadinya distokia. Terlebih pada sapi perah, BCS erat kaitannya dengan mekanisme produksi susu dan kompleksitas masalahnya pada hal metabolisme terutama saat awal laktasi.

BCS juga berhubungan dengan produksi antibodi dalam kolostrum untuk konsumsi anak. Dengan BCS yang tidak berubah banyak pasca partus, maka ternak betina dapat segera siap utuk dikawinkan kembali, dan hal ini akan dapat dievaluasi dari jarak beranak atau calving interval.

Teknik penentuan skor BCS dapat dilakukan dengan mudah, tidak memerlukan peralatan yang khusus dan dapat dilakukan kapanpun. Pengamatan ternak, dapat dilakukan seperti cara “Judjing” dengan melihat kondisi tubuh ternak secara langsung dan dapat juga dengan melakukan palpasi pada bagian tubuh. Setidaknya ada 6 bagian utama yang dievaluasi untuk menentukan BCS ternak, yakni dari samping dan belakang.

Peran BCS pada reproduksi sapi

BCS merupakan cerminan dari cadangan energi pada ternak. Menurut penggunaanya, energi pertama kali digunakan untuk pemenuhan hidup pokok dan ketika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka energi dapat digunakan untuk proses metabolisme yang lain seperti reproduksi. Khusus untuk cadangan energi dalam bentuk lemak, satu komponen lemak adalah kolesterol, merupakan bahan dasar untuk pembentukan hormon reproduksi.

Proses ini disebut dengan “steroidogenesis” atau pembentukan hormon steroid yang mendukung proses reproduksi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa cadangan lemak yang cukup akan mendukung produksi hormon reproduksi yang cukup pula, sehingga kinerja reproduksi ternak dapat berlangsung dengan baik.

Hampir seluruh proses reproduksi ternak betina dikendalikan oleh mekanisme hormonal. BCS di sini erat kaitannya dengan kinerja ovarium dalam membentuk sel telur dan menghasilkan hormon reproduksi yang mengatur estrus contohnya.

Perlu dicatat di sini bahwa salah satu peran BCS adalah pada kenormalan fungsi ovarium, dan tidak berkontribusi terhadap genetik apa yang diturunkan ke anak yang akan dilahirkan. Kecukupan dan kenormalan hormon reproduksi adalah faktor penentu kinerja reproduksi betina yang normal dan efisien. Efisiensi reproduksi ini selanjutnya menentukan keuntungan peternak, dan secara ukuran populasi menentukan kecepatan atau laju pertambahan ternak.

Hal pokok pada siklus reproduksi ternak betina setelah pubertas adalah adanya aktivitas ovarium. Ketika ovarium mulai berfungsi, maka aktivasi pada semua mekanisme kerja hormonal dimulai. Ovarium menghasilkan dua hal, pertama adalah sel telur atau ovum, dan kedua adalah hormon.

Ovum dihasilkan melalui proses oogenesis dan perkembangan folikel. Folikel berkembang apabila ada peran hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa.

Mekanisme perkembangan folikel selanjutnya akan menghasilkan hormon estrogen yang pada level tertentu membuat ternak menjadi estrus. Di sisi lain, juga diperlukan hormon Luteinizing Hormone (LH) untuk proses ovulasi.

Kemudian hormon lain yang berperan adalah diproduksinya progesteron yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan. Kesemua hormon tersebut harus saling bekerja secara sinkron atau berorkestrasi untuk menghasilkan proses reproduksi yang normal.

Sesuai dengan fungsi reproduksinya, ternak betina berperan dalam menghasilkan sel telur, menghasilkan hormon reproduksi, menunjukkan kelakuan kelamin betina (estrus atau birahi), tempat kopulasi, tempat fertilisasi (pertemuan sperma dan ovum), tempat implantasi dan inisiasi kebuntingan, perkembangan fetus (kebuntingan), partus (melahirkan), laktasi atau menyusui. Sementara peranan pejantan, apabila perkawinan dilakukan secara alami adalah menghasilkan spermatozoa dan kopulasi.

Terlebih, jika perkawinan menggunakan Inseminasi Buatan (IB), maka peran pejantan hanya pada ¬penyedian semen saja. Selebihnya, proses reproduksi untuk menghasilkan keturunan ada pada fungsi reproduksi ternak betina.

Sampai saat ini, pada hewan mamalia, belum ada teknologi yang dapat menggantikan fungsi uterus untuk tempat perkembangan fetus (kebuntingan), sehingga menjaga betina tetap memiliki fungsi reproduksi yang normal dan tidak memiliki gangguan adalah hal dasar dari keberlanjutan untuk menghasilkan individu-individu baru.

Manajemen BCS untuk reproduksi yang optimal

Tujuan dari penggunaan BCS adalah untuk mendapatkan kinerja reproduksi ternak betina yang efisien. Efisiensi ini pastilah berdasarkan mekanisme reproduksi yang terikat pada waktu. Lama estrus, siklus estrus, lama kebuntingan, lama kembali estrus setelah melahirkan, kesemuanya adalah proses yang memerlukan waktu.

Akan tetapi, kesemua hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kebuntingan dan kelahiran. Untuk dapat bunting, betina harus menunjukkan gejala estrus agar dapat dikawinkan. Ketika perkawinan tidak berhasil, maka akan terjadi penundaan waktu untuk mendapatkan kebuntingan. Atau, apabila sudah terjadi kebuntingan, tetapi mengalami keguguran.

Hal ini tentu saja merupakan kerugian bagi peternak. Karena, sapi setiap hari membutuhkan pakan yang dapat diartikan sebagai biaya, sehingga reproduksi yang normal tentu saja merupakan keuntungan. Pada sapi perah, hal ini akan sangat terasa. Laktasi hanya bisa terjadi setelah kelahiran, dan keberlangsungan produksi susu sangat ditentukan oleh siklus reproduksi.

Pertanyaan yang harus dijawab sekarang, adalah bagaimana memastikan seekor betina memiliki BCS yang cukup sebelum perkawinan. Tentu saja hal ini menyangkut manajemen dan pola pemeliharaan, terutama pada pakan.

Pakan yang diberikan paling tidak harus mampu memberikan kecukupan terhadap kebutuhan hidup ternak. Secara sederhana, cukup atau tidaknya pakan dapat dilihat dari kondisi tubuh ternak, kurus atau gemuk.

Pada sapi pedaging maupun sapi perah, sapi betina membutuhkan energi yang lebih dari yang tersedia di pakan, sehingga memerlukan pembongkaran cadangan lemaknya. Contoh yang konkret adalah pada sapi perah di awal laktasi, sapi-sapi ini melakukan pembongkaran energi untuk produksi susu. Mungkin pernah mendengar tentang kondisi yang disebut dengan Negative Energy Balance, atau keseimbangan energi yang negatif.

Hal ini apabila berkelanjutan, akan mengakibatkan sederet masalah metabolisme yang tentu saja mengganggu kesehatan dan reproduksi ternak. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan penyediaan pakan yang cukup dan optimal untuk mendukung kebutuhan nutrisi sapi pada fase fisilogis tersebut.

Kondisi inilah yang kadang terjadi di peternakan rakyat, banyak sekali kasus gangguan reproduksi sebagai akibat masalah metabolisme seperti pada sapi perah.

Peningkatan S/C dan interval kelahiran adalah salah satu indikatornya, kemudian menurunnya jumlah produksi susu per individu per masa laktasi karena siklus reproduksi yang diperpanjang sebagai akibat kegagalan dari kebuntingan yang menunda kelahiran.

Pakan, dalam arti nutrisi dalam hal ini menjadi faktor penentu. Tantangan penyedian pakan yang efektif, bukan asal murah, menjadi pekerjaan rumah tersendiri dan harus dipecahkan oleh para ahli nutrisi dan pakan.

Evaluasi kondisi BCS secara periodik, terutama menjelang perkawinan, menjadi cara praktis untuk menentukan keputusan perubahan tata kelola pemeliharaan ternak. Apabila BCS masih kurang dari ideal, maka dilakukan perbaikan.

Keberhasilan dari implementasi BCS adalah adanya ukuran efisiensi reproduksi yang berujung pada keuntungan bagi peternak, dan dapat menjadi tolok ukur keberhasilan program reproduksi ternak pada satu wilayah.

Dapat dibayangkan, apabila populasi betina yang produktif secara reproduksi sudah menurun jumlahnya, tidak efisien atau bahkan tidak ada, maka suplai bibit ternak untuk kelangsungan proses produksi ternak, dapat dipastikan akan terkendala. Akibatnya adalah terjadi penurunan produksi produk peternakan.

Di sinilah mengapa “REPRODUKSI ADALAH KUNCI”. Kunci untuk penambahan populasi dan kunci peningkatan kualitas genetik ternak. Adapun muaranya adalah untuk keberlangsungan dan peningkatan program konsumsi dan penyediaan pangan asal hewani yang sampai saat ini masih dirasa belum cukup.

sumber: dr agr ir sigit prastowo, spt., msi., ipm, universitas negeri sebelas maret, surakarta (pb ispi) | editor: sugiyono

follow our ig: www.instagram.com/livestockreview

Livestock Review

Livestockreview.com didedikasikan untuk turut memajukan industri peternakan dan produk hasil olahannya di tanah air. Diasuh oleh para ahli di bidangnya, Livestockreview.com menjadi ajang update informasi bagi para pelaku bisnis dan industri peternakan Indonesia.

Topik terkait
  • reprooduksi
  • sapi
Previous Article
  • Fokus Utama
  • news

Kongres V AINI 2021 Hasilkan Ketua Umum Baru di Bawah Kepemimpinan Dr. Osfar Sjofjan

  • Livestock Review
  • Feb 7, 2021
Baca selengkapnya...
Next Article
  • Fokus Utama
  • Kampus

Tata Kelola Pemberian Pakan untuk Tingkatkan Produktifitas Sapi

  • Livestock Review
  • Mar 24, 2021
Baca selengkapnya...

Baca Artikel lainnya

Baca selengkapnya...
  • Fokus Utama
  • Referensi

Mikroba Rumen: Kecil Jasadnya, Besar Fungsinya

  • Mar 9, 2023
Baca selengkapnya...
  • Bisnis
  • Fokus Utama

Akselerasi Teknologi Tepat Guna untuk Perunggasan Indonesia

  • Feb 27, 2023
Baca selengkapnya...
  • Bisnis
  • Fokus Utama

Teknologi yang Menentukan Daya Saing Industri Perunggasan Nasional

  • Feb 1, 2023
Baca selengkapnya...
  • Fokus Utama
  • Referensi

Ekologi dan Kesehatan Rumen

  • Jan 25, 2023
Baca selengkapnya...
  • Fokus Utama
  • Referensi

Pentingnya Memahami Feed Intake

  • Jan 16, 2023

Trending

  • 1
    • Fokus Utama
    • Referensi
    Mikroba Rumen: Kecil Jasadnya, Besar Fungsinya
  • 2
    • Bisnis
    • Fokus Utama
    Akselerasi Teknologi Tepat Guna untuk Perunggasan Indonesia
  • 3
    • Bisnis
    • Fokus Utama
    Teknologi yang Menentukan Daya Saing Industri Perunggasan Nasional
  • 4
    • Fokus Utama
    • Referensi
    Ekologi dan Kesehatan Rumen
  • 5
    • Fokus Utama
    • Referensi
    Pentingnya Memahami Feed Intake
 

Instagram

livestockreview
Indonesia Livestock Club (#ILC25): Kesiapan Industri Perunggasan Menyambut Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri
Beberapa menit setelah lahir, ruminansia muda yang sering disebut pre-ruminant, terekspos dengan bermacam-macam mikroba sejak mulai di saluran organ reproduksi dan vagina, saliva, kulit, dan feses induknya. Ketika lahir, induknya menjilat-jilat dan memakan lendir dan cairan yang menyelimuti tubuh anaknya.
Salah satu kunci untuk dapat bertahan di perunggasan adalah melalui efisien dan peningkatan produktifitas yang dapat terwujud dengan penggunaan teknologi.
Perkembangan teknologi digital telah membantu perkembangan industri perunggasan menjadi lebih efisien, dengan adanya peran big data, cloud, internet untuk segala (IoT), dan kecerdasan buatan (AI) yang dapat meningkatkan produktifitas bisnis dan industri perunggasan di tanah air.
Sikap optimis dalam memasuki 2023 perlu untuk ditularkan kepada para pemangku kepentingan (Stake holder) bisnis dan industri perunggasan, agar dapat secara bersama-sama membenahi sektor perunggasan sebagai bagian dari penyuplai bahan pangan sumber protein hewani yang penting bagi masyarakat Indonesia."
Ruminansia adalah sekelompok hewan yang dicirikan oleh aktivitas memamah biak atau mengunyah kembali bolus pakan yang sudah ditelan. Kegiatan itu dikenal dengan istilah ruminasi.
Follow
Livestock Review Indonesia
  • About
  • Term Of Service
  • Privacy Policy
  • Arsip Artikel
  • Gallery
  • Download
  • Contact Us
  • WP File download search
Dairy, Meat & Livestock Update, Portal Berita Peternakan
Design & Dev by IMAJIX DIGITAL

Input your search keywords and press Enter.