Livestockreview.com, Referensi. Masalah perbibitan (termasuk perbenihan) di Indonesia telah lama dibicarakan karena hingga saat ini Indonesia memang belum mampu menyediakan bibit atau benih secara mandiri. Untuk komoditas ayam ras (bukan ayam lokal) pedaging maupun petelur, bibitnya masih 100% impor.
Untuk komoditas ternak lokal lainnya, tidak ada ternak yang dikembangkan secara khusus untuk usaha perbibitan. Namun, dalam diskusi di berbagai forum, masih banyak pihak yang mengklaim bahwa usaha perbibitan di Indonesia telah berkembang. Tampaknya masih cukup banyak pihak yang memahami bibit secara salah.
Pemahaman tentang ternak bibit menjadi tambah rancu karena adanya definisi bibit yang dibagi menjadi bibit dasar, bibit induk, dan bibit sebar. Contoh pemahaman yang salah terjadi pada ayam ras pedaging. Yang dimaksud bibit sebar adalah DOC (Day Old Chick) ayam potong; bibit induk adalah Parent Stock (PS); sedangkan bibit dasar adalah Grand Parent Stock (GPS). Jika PS dan GPS disebut bibit, itu sangat betul. Tapi kalau DOC ayam potong (final stock) disebut juga sebagi bibit, ini merupakan kesalahan fatal.
Lain lagi dengan komoditas ternak ruminansia besar. Semua betina yang bisa beranak disebut sebagai bibit. Demikian juga, semua ternak jantan yang sanggup mengawini ternak betina dan membuatnya beranak disebut juga sebagai bibit. Ini juga pemahaman yang salah kaprah dalam konteks pengembangan usaha perbibitan.
Akibatnya, ketika ada program pembibitan ternak, yang terjadi adalah pendistribusian ternak betina (ada juga yang berstatus bunting) ke wilayah yang akan dikembangkan menjadi wilayah sumber bibit.
Akibat lain yang muncul sampai hari ini adalah pelarangan perkawinan silang antar bangsa ternak. Ternak pendatang tidak boleh dikawinkan dengan ternak lokal di banyak wilayah. Ternak milik peternakpun juga dilarang. Padahal secara ekonomis, ternak hasil persilangan memang lebih besar dan lebih memberikan banyak keuntungan.
Mestinya biarkan masyarakat berupaya memanfaatkan ternak miliknya sendiri dengan menyilangkan ternaknya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Yang penting, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan ternak lokal melalui usaha pembibitan ternak secara terprogram, terarah, dan berkelanjutan.
Yang menjadi tugas pemerintah ini justru yang belum digarap secara serius. Balai Inseminasi Buatan malah memproduksi semen sapi luar negeri secara besar-besaran dan digunakan untuk inseminasi buatan dengan sapi lokal. Salah satu Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) milik pemerintah juga malah mengembangkan sapi impor (bukan sapi lokal). (BERSAMBUNG)
sumber: blog pribadi ahli pemuliaan ternak muladno | editor: sugiyono
follow our official twitter: @livestockreview | follow our official instagram: livestockreview