Livestockreview.com, Bisnis. Dalam menahan arus masuk daging impor dari Australia dan Amerika Serikat, ada baiknya kita mempelajari strategi Korea Selatan dan Taiwan untuk kasus yang sama.Meskipun mendapat tekanan sangat keras dari AS, pemerintah dua negara itu lebih mengutamakan keamanan pangan warganya. Korsel, sebagai pasar ekspor ketiga terbesar, menolak daging sapi Amerika Serikat setelah kemunculan kasus penyakit sapi gila di negara itu. Setelah melalui pergulatan alot, kini Korsel hanya mau menerima daging AS dari sapi yang berumur kurang dari 30 bulan.
Pasal yang diangkat Taiwan lain lagi. Negeri Formosa, pasar ekspor ke-6 terbesar itu, menolak daging AS akibat penggunaan zat perangsang pertumbuhan ractopamine dalam produksi ternak potong. Penggunaan zat ini menghasilkan daging lebih empuk. Dalam kasus ini, Taiwan sama sekali tidak mau menenggang dan siap beradu argumen dengan AS.
Dalam semangat yang sama, kita layak mengapresiasi pernyataan Atase Perdagangan kita di Washington DC saat menanggapi protes peternak sapi AS pascapenolakan Indonesia terhadap daging sapi dari Negeri Paman Sam, terkait kasus sapi gila. Atase perdagangan kita, Ni Made Ayu Marthini menegaskan,” The government of Indonesia’s aim is not to restrict imports, but to ensure that all imported goods are safe for consumption by consumers and safe for the environment.”
Jadi, haruskah kita mengejar konsumsi steak 400 gr, atau tetap setia pada irisan-irisan kecil daging dalam semangkuk soto sapi? Membiarkan konsumsi daging sapi tumbuh alami sesuai kemampuan pasokan dalam negeri atau mengundang daging sarat rekayasa kimia dari luar -dengan segala risiko bahayanya? Mari kita renungkan dan kaji bersama.
follow our twitter: @livestockreview
sumber: bud1 w1djanarko (suara) | editor: sitoresmi fauzi