Livestockreview.com, Referensi. Lonjakan harga daging sapi dan pangan lain di bulan Ramadan tak hanya mengganggu ekonomi, tapi juga politik. Jika sekarang menteri perdagangan dan menteri pertanian dihujat, itu belum seberapa. Banyak pemimpin negara yang tumbang karena tak bisa mengendalikan harga-harga.
Lonjakan harga yang terus terjadi memetakan bahwa suplai barang tak sesuai kebutuhan. Jika kebutuhan meningkat sementara produksi tetap atau bahkan turun, harga bakal terus terkerek. Tak peduli berapa sidang kabinet digelar dan berapa banyak menteri dicopot, harga tak mereda jika pasokan tak ditambah.
Itulah yang menyebabkan gonjang-ganjing daging sapi di negeri agraris ini. Awal 2012, daging sapi hanya Rp 65.000 per kg dan naik jadi Rp 80.000 menjelang Lebaran pada Agustus. Perayaan Idul Fitri usai, namun harga justru melejit jadi Rp 90.000-95.000 per kg akhir 2012. Padahal, harga daging sapi di negara lain hanya separuhnya, seperti di Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia yang berkisar Rp 40.000-50.000 per kg.
Meningkatnya ekonomi masyarakat Indonesia membuat konsumsi daging yang semula 2,3 kg per kapita per tahun bergerak naik, mengejar negara lain yang sudah 20 kg. Namun, peternakan sapi di sini tak banyak berkembang, bahkan ditengarai turun. Produksi daging masih mengandalkan peternak yang hanya memelihara dua atau tiga ekor sapi secara tradisional. Alhasil, produksi dan produktivitas tak jua beranjak.
Sementara itu, negara tetangga, Australia dan Selandia Baru, misalnya, mengembangkan industri peternakan yang sangat modern dan efisien, di setiap mata rantai. Itulah yang menjelaskan mengapa biaya produksi daging di sana jauh lebih murah dan kualitasnya terjamin, sehingga puluhan tahun menguasai pasar di negeri ini. Apakah kita cuma tinggal diam menghadapi masalah ini? Saatnya bergerak!
sumber: ant4ra | editor: diana mandagi