Livestockreview.com, Referensi. Kasus kematian babi pada sejumlah usaha peternakan di Sumatera Utara terus terjadi sejak Agustus 2019 sampai awal Desember 2019 dan mencapai jumlah 20.500 ekor yang mati. Berdasarkan pengamatan gejala klinis di lapang, perubahan patologi, dan pengujian laboratorium di Balai Veteriner Medan terhadap sampel darah dan organ yang berasal dari babi yang mati (sakit) pada bulan Oktober 2019 dengan menggunakan RT PCR menunjukkan sejumlah sampel positif terhadap African Swine Fever (ASF). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematian babi di Sumatera Utara disebabkan oleh virus African Swine Fever.
Berdasarkan release yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), maka sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, setiap kejadian wabah harus dilaporkan dan ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Maka, dipandang perlu Menteri Pertanian menetapkan adanya wabah ASF tersebut.
Untuk mengendalikan dan menghentikan penyebaran penyakit ASF pada babi serta menanggulangi kerugian ekonomi pada peternak babi dan dampak negatif lainnya, Pemerintah perlu segera menetapkan adanya wabah penyakit ASF untuk dilakukan tindakan-tindakan secara legal dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF.Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk sesegera mungkin mengambil tindakan-tindakan nyata sesuai dengan peraturan dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF pada babi.
Apa itu ASF?
Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF dari genus Asfivirus dan famili Asfarviridae. Penyakit ini berbeda dengan penyakit kolera babi atau hog cholera atau classical swine fever (CSF), yang disebabkan pula oleh virus, namun virus yang berbeda, yaitu virus CSF dari genus Pestivirus and famili Flaviviridae. Kedua penyakit tersebut tidak dapat diobati dengan antibiotik karena bukan disebabkan oleh bakteri.
Penularan virus ASF antar babi terjadi akibat babi kontak dengan babi yang sakit, serta kontak dengan cairan yang keluar dari babi sakit atau mati seperti air kencing, kotoran, air liur, dan darah. Virus ASF menginfeksi babi melalui pernafasan dan mulut atau ingesti (makanan/minuman).
Orang, peralatan, pakaian, sepatu atau alas kaki, dan makanan yang tercemar virus ASF yang berasal dari peternakan babi yang sakit atau yang pernah kontak dengan babi yang sakit atau mati dapat menularkan virus ASF ke babi lain. Selain itu, virus ASF ini dapat pula ditularkan melalui caplak (dari genus Ornithodoros).
Jika terdapat virus ASF dalam daging babi dan dikonsumsi manusia, maka manusia yang memakan daging babi tidak dapat tertular dan virus juga tidak dapat ditemukan dalam kotoran (feses manusia). Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah penyakit ASF pada babi. Tindakan pencegahan yang disarankan adalah menjalankan biosekuriti yang baik di peternakan.
Langka biosekuriti yang dianjurkan agar babi tidak tertular antara lain yakni, menjaga kesehatan babi dengan memberikan pakan yang baik, jangan berikan pakan babi dengan sisa makanan restoran atau hotel. Jika menggunakan makanan dari sisa-sisa makanan restoran atau hotel, maka makanan tersebut harus dimasak mendidih terlebih dahulu sekurang-kurangnya 1 jam agar bebas dari virus ASF.
Langkah biosekuriti selanjutnya adalah selalu menjaga kebersihan kandang, memisahkan babi yang sakit dari babi-babi yang sehat, tidak mengijinkan orang lain yang telah berkunjung ke kandang babi lain untuk masuk peternakan babi, serta selalu mencelupkan alas kaki atau sepatu kandang dalam desinfektan sebelum memasuki kandang babi.
follow our ig: @livestockreview
penulis: soegiono | editor: apriliawati