Livestockreview.com, Opini. Harga daging sapi yang melambung gila-gilaan, bisa mencapai di atas Rp 100 ribu per kilogram, atau naik hampir 100 persen dari semula rata-rata Rp 60.000 per kilogram, membuat kelimpungan para pedagang daging dan pedagang makanan berbahan baku daging sapi.
Pedagang daging mengeluh karena pembeli turun hingga separo dari biasa. Pedagang bakso terpukul setelah harga bahan baku tidak lagi terkejar oleh kemampuannya, sehingga tak sedikit yang memutuskan berhenti jualan untuk sementara. Mereka meminta agar pemerintah segera turun tangan mengatasi persoalan fluktuasi harga yang dinilai sudah tidak lagi wajar. Kalau tidak, tentu mata pencaharian mereka terganggu.
Asosiasi Importir Daging Seluruh Indonesia menyatakan harga daging sapi tinggi akibat stok terbatas, karena produksi di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Asosiasi itu menyayangkan pembatasan impor daging, dan menilai pemerintah terlalu berambisi mencapai target swasembada daging pada 2014. Mungkin, dengan harga tinggi tersebut permintaan akan turun, dan tercapailah swasembada itu. Itu suara para pedagang yang acap mengambil keuntungan dalam jangka pendek.
Namun dugaan terkuat adanya kenaikan harga adalah adanya permainan mafia yang tujuan akhirnya adalah pembukaan kembali keran impor daging sapi. Sejak September lalu, pemerintah menyetop impor, karena untuk tahun ini sudah tercapai kuota 35 ribu ton dan tidak akan ditambah. Kebutuhan daging sapi tahun ini diperkirakan 484 ribu ton, dan pemerintah optimistis bisa dipenuhi oleh daging sapi lokal.
Terlepas dari aneka dugaan dan spekulasi itu, pemerintah harus mempertahankan kebijakan mengurangi impor daging sapi secara bertahap. Langkah itu sangat perlu diikuti dengan penataan tata niaga sapi. Sejauh ini hanya sektor hilir yang dikelola, yakni mengatur kuota daging impor. Padahal sektor hulu, antara lain usaha budi daya peternakan dan penggemukan, sejauh ini belum ditangani secara serius.
Selalu diungkapkan data yang menunjukkan populasi sapi kita cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat. Namun tanpa membenahi, mengatur, dan mengelola sistem budi daya dan tata niaga termasuk distribusinya, populasi itu tak berarti apa-apa. Jalan pintas lewat impor mungkin lebih murah, tetapi kita mesti teguh pada niat mewujudkan kedaulatan pangan. Tak boleh goyah dirayu dan diancam mafia atau siapa pun!
sumber: su4ra | editor: soegiyono