Livestockreview.com, Referensi. Perilaku kartel impor daging sungguh keterlaluan. Mereka menari-nari di atas penderitaan rakyat banyak. Betapa tidak, setiap tahun, mereka bisa meraup untung hingga trilyunan dari impor daging chilled (dingin) dan frezeer (beku). Sebaliknya, jutaan rakyat miskin tak mampu merasakan gurihnya bisnis daging impor yang mereka kendalikan. Ketika produk daging impor membanjiri pasar domestik, jutaan rakyat Indonesia justru kekurangan gizi.
Meski daging terus masuk ke negeri ini, Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi daging yang sangat rendah di Asia Tenggara. Rendahnya konsumsi daging menunjukkan ironi masyarakat negeri tropis. Saat ini, konsumsi daging Indonesia hanya 5,5 kilogram (kg) per tahun perkapita. Angka ini jauh di bawah Filipina yang konsumsi dagingnya mencapai 19,0 kg,Thailand 23,3, dan Malaysia 43 kg.
Dibandingkan negara-negara di Asean, Indonesia hanya unggul dalam konsumsi telur. Setiap tahun, Indonesia menghabiskan telur 64,0 kg perkapita per tahun, Filipina 31,7 kg, Thailand 31,1, dan Malaysia 41,9 kg.
Rendahnya konsumsi daging Indonesia jelas tidak sepadan dengan gencarnya kegiatan impor daging belakangan ini. Kita pantas malu melihat kenyataan bahwa konsumsi daging Indonesia yang masih jauh di bawah standar Badan Pangan Dunia (FAO) yang mencanangkan konsumsi daging 33 kg per tahun per kapita. Rendahnya konsumsi daging di Indonesia tidak terlepas dari mahalnya harga komoditas daging ini.
Meski kegiatan impor daging terus berlangsung, toh harga daging tak terjangkau oleh jutaan masyarakat Indonesia. Saat ini, harga daging impor di Indonesia mencapai Rp 90-100 ribu per kg, dua kali lipat harga di negeri asalnya yang rata-rata hanya US$ 5 per kg atau Rp 45 ribu per kg. Disparitas harga ini sungguh sangat menggiurkan bagi pemburu rente. Kondisi inilah yang memunculkan fenomena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) impor daging. (Bersambung)
follow our twitter: @livestockreview
sumber: invest0r | editor: soegiyono