Livestockreview.com, Bisnis. Di kampung yang masuk wilayah Kuningan Timur, Jakarta Selatan, terdapat lima peternak sapi yang masih bertahan. Salah seorang di antaranya Amir Hamzah (40) yang tinggal di sebuah rumah gedong bertingkat dua di Gang Eks AURI RT 004 RW 003. Dari luar, tidak ada tanda-tanda kandang sapi di rumah itu.”Coba ente buka pintu itu,” ujar Amir sambil menunjuk pintu besi di samping rumahnya. Begitu pintu dibuka, terlihatlah 10 sapi berdiri berjejer. Tepat di belakang kandang sapi terdapat pabrik tahu yang ampasnya digunakan untuk pakan sapi.
Di atas kandang sapi, Amir membangun enam kamar kos untuk karyawan perempuan yang disewakan Rp 850.000-Rp 1 juta per bulan. Kamar-kamarnya bagus dan semuanya dilengkapi AC. ”Jadi, di sini ada dua (golongan) yang indekos. Di lantai bawah sampi yang indekos, di lantai atas manusia, ha-ha-ha.”
Sejauh ini, kata Amir, tidak ada anak kos yang komplain dengan bau sapi. Maklum, sebelum mereka bangun tidur, Amir telah membersihkan kandang dan memandikan sapi. Ketika mereka berangkat kerja, semua pekerjaan bersih-bersih sudah selesai. ”Nah, sebelum penghuni kos pulang kerja, sampi dan kandang dibersihkan lagi. Mereka enggak akan sempat mencium bau. Sampi mandi lima kali sehari, anak kos yang wangi-wangi itu cuma dua kali.”
Bagaimana dengan tetangga? Mereka, lanjut Amir, juga tidak komplain karena dulunya sama-sama peternak sapi. Kalau ada yang komplain, sudah pasti warga pendatang. ”Tapi, saya tinggal bilang, dibanding ente, sampi-sampi udah tinggal duluan di sini, ha-ha-ha,” ujar Amir yang mendapatkan peternakan sapi itu dari ayahnya.
Kawasan Kuningan dan sekitarnya dulu pernah menjadi sentra peternakan sapi perah di Jakarta. Tokoh senior Betawi, Irwan Syafi’i (81), yang sejak kecil tinggal di kawasan Setiabudi, menceritakan, sebelum masa revolusi kemerdekaan, ada dua pabrik susu milik Belanda, yaitu di Jalan Kawi dan Jalan Halimun yang tidak jauh dari Manggarai. Pabrik susu itu terintegrasi dengan peternakan sapi perah dan ladang rumput nan luas. ”Sapinya banyak banget. Saya dulu suka lihat-lihat peternakan sapi di situ,” katanya.
Menurut beberapa catatan, ada pula pabrik susu milik Belanda di Laan de Bruinschof yang sekarang bernama Tanah Abang III. Pabrik itu dikelola orang Belanda sekitar tahun 1930.
Karena ada peternakan besar, lanjut Irwan, orang-orang Betawi yang secara ekonomi cukup bagus ikut memelihara sapi tiga-lima ekor. Kebanyakan dari mereka juga mendirikan pabrik tahu karena ampasnya bisa digunakan untuk pakan. Lama-kelamaan, memelihara sapi jadi tren. Maka, muncullah peternakan sapi rakyat di Kuningan, Karet Bivak, sampai Mampang. ”Susu hasil peternakan rakyat ini kebanyakan dijual ke orang-orang (berkulit) putih yang tinggal di Menteng.”
Kalau sekarang, kata Mirdan, pelanggan susu kebanyakan ibu rumah tangga, pengelola kafe, dan warung soto betawi.
Pasca-Revolusi 1945, peternakan sapi dan pabrik susu Belanda habis semua. Yang tersisa tinggal peternakan sapi perah milik rakyat. Peternakan rakyat itu mencapai masa keemasan pada era 1970 dan 1980-an. Saking banyaknya peternak sapi perah, ada sebuah gang yang diberi nama Gang Susu. ”Babe saya aja dulu punya 60 sampi, yang diwarisin ke saya tinggal 10,” kata Amir Hamzah (40). BERSAMBUNG
sumber: k0mpas | editor: soeparno