
Melalui program ini, target populasi sapi nasional naik menjadi sekitar 17 juta ekor dari sebelumnya 12 juta ekor. Penyediaan daging sapi nasional juga dipatok naik 90 persen menjadi 420,2 ribu ton. Bisa ditebak, importirlah yang tak puas dengan kebijakan ini. Mereka menuding pemerintah tak punya data valid. Pemerintah mencatat pengurangan impor hanya 23,6 ribu ton. Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) punya catatan berbeda. Realisasi impor daging beku tahun lalu 120 ribu ton. Bila tahun ini cuma dijatah 50 ribu ton, berarti ada kesenjangan 70 ribu ton.
Perbedaan data mencolok ini menunjukkan urusan pengadaan daging sapi impor masih tak jelas. Seorang importir yang dijatah 500 ton, misalnya, ternyata bisa mendatangkan sapi berlipat ganda dengan berbagai cara. “Apa sih yang tidak bisa,” katanya. Para importir juga mengeluhkan pembagian kuota impor. “Pembagian jatahnya tak transparan dan menguntungkan perusahaan tertentu,” ujarnya.
Gara-gara ribut-ribut itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Prabowo Respatyo, pada minggu lalu, mengumpulkan importir daging di Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta. Menurut Prabowo, pengurangan kuota diterapkan agar daging impor tak membanjiri pasar lokal. Tapi, di akhir pertemuan itu, Kementerian sepakat menghitung ulang pasokan dan permintaan daging. Pembatasan kuota impor daging juga akan dikaji ulang.
Mimpi Indonesia berswasembada daging tercetus pada 2005. Pemerintah ingin mengulang sukses sebagai negara pengekspor sapi, seperti era 1970-an. Pada 1972, misalnya, Indonesia mengapalkan 14 ribu sapi dan 14 ribu kerbau ke Singapura serta Hong Kong. Tapi target swasembada meleset, lalu diundurkan pada 2010. Cita-cita melipatgandakan produksi sapi kembali menggantung di awang-awang, digeser lagi ke 2014.
Kelihatannya pemerintah belum siap mewujudkan swasembada daging. Tidak ada strategi jitu meningkatkan produktivitas sapi lokal, termasuk pakan hijau dan bibit unggul. Strategi bujet juga kurang tepat karena lebih banyak difokuskan pada kesehatan hewan, bukan pada peningkatan produktivitas dan populasi. Pemerintah pun tak memiliki data akurat tentang produksi dan konsumsi daging sapi dalam negeri. Pencacahan ternak terakhir dilakukan pada 1994. Sensus pun baru dilakukan kembali tahun ini.
Program swasembada daging biasanya dibarengi dengan pengurangan impor daging beku yang celakanya justru bisa kontraproduktif. Permintaan daging di dalam negeri malah cenderung naik dan akhirnya jomplang alias tak seimbang dengan pasokan daging lokal. Akibatnya, harga daging dan sapi terus melambung. Walhasil, para tengkulak lalu berburu ke sentra-sentra peternakan sapi, mengiming-imingi dengan harga tinggi. Peternak banyak yang tergiur. Mereka ramai-ramai menjual dan memotong sapi, termasuk sapi-sapi betina. Ini gawat, karena populasi sapi lokal terancam menyusut, dan program swasembada dalam bahaya.
Dukungan anggaran

Menurut Bayu, merealisasi program ini sangat sulit. Agar ambisi itu terwujud, mesti ada 17 juta ekor sapi. Saat ini populasi sapi lokal hanya sekitar 12 juta ekor. Minimnya infrastruktur dan pakan juga menjadi kendala besar. Ini salah satu tantangan berat pemerintah.
Sapi betina produktif juga hendak diselamatkan. “Saban tahun, 200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong untuk konsumsi,” kata Menteri Pertanian Suswono. Kementerian Pertanian mengalokasikan dana Rp 700 miliar plus tambahan Rp 250 miliar-bila disetujui Dewan Perwakilan Rakyat-untuk pembelian sapi-sapi betina produktif ini. Mereka akan disalurkan kepada para peternak.
sumber: tempo | editor: sugiyono