Livestockreview.com, Produk Olahan. Ketika makan rumah makan dan memesan daging beef steak, pelayan restoran tentu akan menanyakan bagaimana steak itu akan dimasak: apakah rare (mentah), medium rare (setengah mentah), medium (matang sedang), atau welldone (matang sempurna).
Ketika mendapat pertanyaan tersebut, mayoritas orang tanpa pikir panjang akan meminta olahan welldone. Mengapa tidak mencoba medium, seperti yang biasanya menjadi pilihan para penyuka steak?
Salah satu yang membuat kita cenderung resah adalah keluarnya cairan kemerahan yang keluar dari daging sapi, bahkan ketika daging ini telah dimasak. Padahal, cairan merah ini bukan darah, melainkan juice atau saripati dari daging tersebut.
Orang bule lebih suka medium, karena suka daging yang juicy. Yang dinikmati itu dagingnya. Sementara orang Indonesia lebih suka welldone, karena mengira daging steak yang medium itu belum matang,” tutur Chef Stefu Santoso, Banquet Chef dari The Energy Cafe.
Orang Indonesia lebih memilih daging steak yang matang sempurna. Hal ini sebenarnya berangkat dari kekhawatiran yang mendasar bahwa memasak daging yang tidak welldone adalah tidak halal. Padahal, halal atau tidaknya daging tersebut tidak ditentukan oleh tingkat kematangan daging, melainkan dari proses pemotongan sapi hidup. Misalnya, penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam, dan dilakukan dengan syariah Islam.
Lidah orang Indonesia yang terbiasa dengan bumbu dan rempah-rempah juga membuat orang Indonesia menyukai rasa yang kuat. Oleh karena itu, ketika menyantap steak mereka cenderung menuangkan saus di atas daging dalam jumlah banyak. Terkadang masih dicocol dengan saus sambal.
“Orang Indonesia lebih suka daging yang kering, dan berbumbu. Tidak heran daging seperti empal atau rendang itu sangat digemari. Sebab bumbunya banyak sekali, sehingga yang dinikmati adalah bumbunya, bukan daging sapinya,” tutur Chef Stefu, sambil menambahkan bahwa daging steak biasanya hanya dibumbui garam dan lada saja saat dimasak. follow our twitter: @livestockreview
penulis: nani sulistyawati | editor: ria laksmi