Livestockreview.com, Bisnis. Harga daging sapi di berbagai daerah beberapa kali melonjak di atas batas psikologis, Rp 100 ribu per kilogram. Tataniaga yang buruk dan permainan pedagang daging dan pedagang sapi yang menahan sapinya untuk dilepas, menjadi beberapa Pekerjaan Rumah yang harus diselesaikan dengan segera oleh pemerintah.Kondisi itu memicu pedagang daging sapi di beberapa daerah mogok berjualan. Ibu rumah tangga, pemilik warteg, penjual bakso, dan konsumen daging sapi, menjerit. Mereka harus membayar lebih mahal dari biasanya untuk membeli sepotong daging.
Kenyataan ini menjadi batu ujian bagi pemerintah yang telah menargetkan pencapaian swasembada daging sapi pada 2014. Sebelumnya, target tersebut pernah direvisi dua kali pada 2007 dan 2010.
Kenyataan itu juga tak sejalan dengan hasil sensus sapi yang diselenggarakan BPS pada Juni 2011. Akhir Desember 2011, BPS mengumumkan sapi potong hasil sensus tercatat 14,8 juta ekor. Jumlah itu jauh lebih banyak dari prediksi, yaitu 12,6 juta ekor.
Melihat jumlah sapi potong hasil sensus yang cukup mencengangkan, saat ini Kementerian Pertanian mengambil langkah yang dinilai banyak kalangan sangat berani. Kementerian itu memangkas kuota impor daging sapi dan sapi bakalan hingga setengahnya.
Kebijakan tersebut dimaksudkan agar iklim industri ternak lokal dapat terdongkrak dan sasaran pemenuhan kebutuhan daging sapi lokal dapat terealisasi pada 2014.
Mengapa gejolak harga daging sapi masih terjadi? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, selain masalah permainan para spekulan pedagang daging dan sapi yang sering menahan barang jualannya. Belasan juta ekor sapi hasil sensus tersebut berada di tangan para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok negeri.
Hal lain yang juga dilupakan oleh penentu kebijakan pangan adalah tentang unikum budaya masyarakat di bidang peternakan. Bagi masyarakat Indonesia, terutama suku Jawa, beternak sapi adalah upaya menabung. Mereka menjual sapi hanya pada saat terdesak butuh uang.
Mereka menganggap sapi dan kerbau bukan semata-mata komoditas melainkan rajakaya (aset cadangan, harta simpanan) yang bisa dijual bila sudah tidak ada lagi sumber atau aset lain untuk mencukupi keperluan keluarga yang bersifat mendesak.
follow our twitter: @livestockreview
penulis: h4rjul1 (su4r4) | editor: soegiyono