Livestockreview.com, Referensi. Wabah penyakit flu burung telah mengguncang sektor peternakan Indonesia, mengancam keselamatan bisnis peternak, juga pelaku industri perunggasan lain. Di Indonesia, sektor peternakan juga melibatkan usaha rumah tangga, ekonomi rakyat serta karakter usaha kecil dan menengah (UKM) yang menyerap jutaan lapangan kerja, terutama di pedesaan.
Keterkaitan ke belakang (backward linkages) subsektor unggas dengan industri pakan ternak juga amat kuat karena ketergantungan dan tingkat sensitivitas yang demikian tinggi.
Dimana industri pakan ternak nyaris identik dengan investasi dan kapasitas produksi domestik, sehingga bilamana terganggu sedikit saja, strategi untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi pasti terganggu pula.
Di samping itu, keterkaitan ke depan (forward linkages) industri perunggasan dengan industri hasil makanan, industri hotel dan restoran, serta sektor pariwisata lainnya juga demikian vital karena angka kesempatan kerja dan devisa yang dihasilkan juga amat besar.
Pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) subsektor peternakan Indonesia memang tergolong fenomenal karena pernah menyumbang seperlima dari total nilai tambah sektor pertanian secara keseluruhan. Puncak keemasan subsektor peternakan terjadi pada periode 1978-1986, sebagaimana sektor pertanian umumnya, ketika laju pertumbuhannya tercatat 7% per tahun (Sumber: Badan Pusat Statistik).
Tingginya angka pertumbuhan, yang juga terjadi di belahan lain di muka bumi ini sering dinamakan Revolusi Peternakan (Livestock Revolution), yang sebenarnya telah dimulai sejak awal 1970-an. Revolusi Peternakan amat berbeda secara fundamental dengan Revolusi Hijau (Green Revolution) di sektor tanaman biji-bijian yang lebih banyak didorong oleh sisi suplai (supply driven) produksi dengan karakter perubahan teknologi baru biologi dan kimiawi, seperti varietas unggul, pupuk dan pestisida.
Revolusi Peternakan didorong oleh sisi permintaan (demand driven), karena perubahan konsumsi dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi serta persyaratan kualitas nutrisi dan kesehatan lainnya.
Revolusi sejak 1970
Di Indonesia, Revolusi Peternakan ditandai dengan berkembang pesatnya industri ayam petelur, ayam pedaging dan ayam kampung sejak akhir 1970-an. Tidak kalah pentingnya, industri pakan ternak yang umumnya terkait dengan investasi asing dan beroperasi dengan skala besar juga tumbuh pesat, yang ditandai dengan maju dan membaiknya tingkat efisiensi, bahkan di seluruh sistem agrobisnis berbasis peternakan.
Sesuai dengan karakter yang lebih dinamis, Revolusi Peternakan mensyaratkan peningkatan kapasitas sistem produksi dan distribusi serta antisipasi permasalahan lain, seperti aspek lingkungan hidup dan masyarakat. Maksudnya, pemerintah dan pelaku industri peternakan harus mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan proses transformasi/revolusi sistem nilai dan budaya agrobisnis secara terus-menerus di sektor peternakan ini.
Tidak ada pilihan lagi, pemerintah perlu menyusun strategi kebijakan jangka panjang dan perencanaan investasi yang mampu mengakomodasi serta responsif terhadap permintaan konsumen, memperbaiki kualitas nutrisi, peningkatan pendapatan dan mencegah dampak buruk di bidang kesehatan masyarakat.
Di sinilah diperlukan kemampuan ekstra untuk mengantisipasi kompleksitas proses transformasi tersebut yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan, keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan kualitas higienis produk peternakan serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Saat ini produksi anak ayam (DOC) ayam ras di Indonesia tercatat 1,3 milyar ekor, dengan komponen terbesar adalah DOC ayam pedaging 1,2 milyar, dan DOC ayam petelur 80 juta.
Meningkatnya konsentrasi dan populasi ternak di kawasan permukiman pastilah membuka peluang terjadinya penyakit zoonotik yang disebabkan bakteri salmonella, E-coli dan flu burung tersebut.
Dengan semakin terbukanya sekat-sekat negara dan kawasan pada zaman modern saat kini, maka pergerakan pelaku ekonomi pun semakin cepat dan pesat. Kontaminasi dan wabah penyakit yang terjadi di suatu tempat sangat besar kemungkinannya untuk menyebar ke daerah lain.
Oleh karena itu, pemerintah wajib mengantisipasinya dan memperbaiki kualitas penegakan zoning dan peraturan kesehatan lainnya. Prinsip-prinsip dasar Revolusi Peternakan seperti inilah yang perlu dikuasai oleh pemerintah, para ahli dan perumus kebijakan lain agar dapat disebarluaskan kepada masyarakat peternakan dan pelaku ekonomi lainnya.
Keberlanjutan revolusi
Keberlanjutan fenomena Revolusi Peternakan di Indonesia sangat bergantung pada kualitas kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Krisis ekonomi karena buruknya fundamental ekonomi dan kualitas kebijakan yang sempat mengacaukan sub-sektor peternakan seharusnya dijadikan pelajaran yang amat berharga.
Sub-sektor peternakan yang terlalu mengandalkan industri pakan ternak impor ternyata amat terpukul kala harga bahan baku pakan dunia melonjak. Persoalan ketergantungan di atas tentu saja tidak dapat dipecahkan hanya dengan langkah kebijakan yang tidak berbasis serta menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Persentase keuntungan bisnis
Pemerintah dan pelaku peternakan sebenarnya telah mengetahui tentang struktur permasalahan ketimpangan dan dualisme “pembagian keuntungan” di sektor peternakan.
Pada industri ayam petelur, bagian terbesar (68%) keuntungan usaha dinikmati oleh pabrik pakan ternak, 31% dinikmati peternak kecil dan hanya 1% dinikmati oleh peternak pembibit.
Gambaran yang tidak jauh berbeda juga dijumpai dalam industri ayam pedaging (broiler) karena 72% keuntungan dinikmati oleh industri pakan ternak, 25% dinikmati pembibit dan hanya 1% oleh peternak kecil.
Permasalahan struktural di atas tentu saja tidak akan cukup apabila hanya dipecahkan secara parsial dan penganjuran kemitraan, tetapi memerlukan reforma mendasar. Hal ini melibatkan peningkatan kapasitas dan akses pasar dan informasi, terutama untuk peternak kecil yang menjadi tulang punggung sub-sektor peternakan dan ekonomi Indonesia secara umum. follow our twitter: @livestockreview
penulis: dewi nilasari | editor: soegiyono