Livestockreview.com, Berita. Sebagai komitmen Negara Indonesia dalam rangka memenuhi kecukupan pasokan daging sapi nasional, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan telah menerbitkan buku Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Sejatinya, program ini bukanlah hal yang pertama kali dilakukan. Sebelumnya, Dirjennak telah melansir program yang sama, yang menyatakan bahwa Indonesia akan berswasembada daging sapi pada tahun 2010. Kenyataannya, program tersebut gagal terealiasasi sehingga mundur lagi ke tahun 2014. Kegagalan sebelumnya sesungguhnya terletak pada tidak terincinya program dan juga kurangnya seriusnya pengalokasian anggaran untuk mendukung tujuan tersebut.
Secara harfiah, swasembada daging sapi berarti hanya untuk pengadaan dan perbanyakan daging sapi. “Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa di pasar tradisional, daging yang dijual bukan saja bersumber hanya dari ternak sapi, akan tetapi banyak sekali “daging sapi” yang dioplos dengan daging ternak lain seperti misalnya daging kerbau, kuda, kambing, bahkan di pasar-pasar tertentu di luar wilayah NTB ada yang mencampurnya dengan daging celeng,” kata Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Mataram Prof Suhubdy. Pengalaman ini, jelasnya, membuktikan bahwa daging sapi tak akan pernah cukup pasokannya bila dibandingkan dengan permintaan yang kian semakin meningkat seiring dengan semakin membaiknya ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia.
Ketersediaan anggaran merupakan penentu utama keberhasilan program swasembaada daging sapi pada tahun 2014. Dalam periode 2010-2014 dibutuhkan dana sebesar Rp17,4 triliun atau rata-rata Rp3,5 triliun per tahun. Sedangkan Kementerian Pertanian hanya menyediakan dana sebesar Rp 575,29 milyar. Dana Rp17,4 triliun tersebut untuk meningkatkan populasi sapi, dari saat ini 12,6 juta ekor menjadi 14,23 juta ekor pada tahun 2014. Sedangkan produksi daging sapi diharapkan mencapai 420.000 ton pada tahun 2014. Padahal pada tahun 2009 produksi daging sapi hanya 250.810 ton. Data-data tersebut, tambah Suhubdy, memberikan gambaran bahwa target tersebut masih jauh dari kenyataannya karena kurang seriusnya pengalokasian anggaran pemerintah untuk mendukung program ini.
Harus didukung pemerintah daerah
Walaupun disenyalir bahwa pemda tidak mendukung program pemerintah pusat, tidak demikian halnya dengan Pemda Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintah NTB telah menjadikan ternak sapi sebagai ikon program pembangunanya. Maka, lahirlah NTB-Bumi Sejuta Sapi (NTB-BSS) sebagai lokomotif program pembangunan lima tahun Gubernur dan Wakil Gubernur NTB. Suhubdy menguraikan, agar kerjasama ini dapat bersinergi, nota kesefahaman bersama (MoU, momoranding of understanding) pun ditandatangani antara Pemda NTB dan Dirjennak Kemtan pada tanggal 17 Desember 2008. Sekitar dua tahun program ini sudah berlangsung, menurut pengamatan Guru Besar Universitas Mataram ini, hingga kini relatif belum juga terlihat secara nyata hasilnya di lapangan. Bahkan dengan adanya program NTB-BSS, diduga akan menjadi bahaya laten bagi tumbuh-kembangnya ternak ruminansia dan herbivora lainnya di NTB.
Misalnya, peternak yang secara turun-temurun memelihara ternak kerbau dan/atau kuda cenderung untuk tidak mau lagi memiliki atau memperhatikan kehidupan ternaknya. Sekilas argumen yang dikemukakan oleh anggota masyarakat (petani/peternak) adalah karena pemerintah hanya memperhatikan keberadaan dan perkembangan ternak sapi saja. Bahkan anggaran dan fasilitas hanya akan diberikan kepada orang-orang yang punya sapi dan/atau yang berkeinginan memelihara ternak sapi. Kondisi seperti ini, dalam jangka panjang dapat menjadi ancaman serius bagi diversitas sumberdaya ternak terutama ternak lokal.
Modifikasi program swasembada Daging Sapi
Dengan tetap berpegang teguh pada terminologi “swasembada daging sapi” maka hal-hal yang berikut ini lambat-laun akan mencuat kepermukaan: petani peternak ada kecenderungan untuk mengabaikan pemilikan dan pemeliharaan terhadap ternak-ternak selain sapi. Dengan kata lain, akan mengurangi kesempatan dan potensi perkembangbiakan ruminansia/herbivora pedaging lainnya.
Bila terjadi monokulture ternak, maka bahaya kepunahan ternak sapi akan cepat terjadi akibat wabah penyakit dan/atau kurangnya diversitas sumberdaya hayati. Dengan berkurangnya populasi ternak ruminansia/herbivora selain sapi, maka akan berdampak pada terbatasnya pengembangan pendidikan peternakan, sumberdaya manusia (SDM), riset, dan juga aktivitas bisnis.
Menyimak beberapa argumen sebelumnya dan juga sebelum terlalu jauh kita tersesat, Prof Suhubdy mengusulkan bahwa sudah saatnya untuk mengkoreksi terminologi program “swasembada daging sapi”, diganti dengan program “swasembada daging nasional” alias tanpa kata “sapi”. ind