Livestockreview.com, Bisnis. Sebanyak 32 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia atau 97 % dari wilayah di Indonesia endemik H5N1 pada hewan pada awal 2011. Kasus wabah awal 2011 banyak menimpa peternakan komersial sektor 3 (yang bersifat sporadis), sementara sektor 1 dan 2 tidak diketahui pasti.
Info yang beredar di kalangan praktisi perunggasan sector 1 dan 2 ini, yakni breeding Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS) telah terinfeksi avian influenza (AI). Itulah sebabnya DOC broiler pada 2010 lalu langka. Namun fakta ini tidak terungkap ke permukaan akibat terlalu tertutupnya pengusaha bereeding di Indonesia. Hal inilah pulalah yang menyebabkan tidak cukup data tersedia yang mendukung pengambilan kebijakan yang komprehensif tentang penanganan AI di Indonesia.
Update tentang AI terbaru tersebut dibahas dalam sebuah seminar di Bogor pada 5 Mei lalu oleh Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) dan Majalah Trobos.
Karakteristik peternakan ayam Indonesia jauh dari ideal, karena tersebar tanpa zoning, manajemen dan biosekuriti yang sangat rendah menjadi risiko tinggi. Musim hujan yang berkepanjangan menyebabkan penyebaran virus H5N1 dari satu farm ke farm lain sangat tinggi, diperparah dengan rantai produk unggas dan limbah peternakan yang tidak dikelola dengan baik.
Secara molekuler, virus AI terkini memiliki banyak variasi genetik, dan banyak variasi host. Pakar biologi molekuler Universitas Airlangga Profesor Chairil Anwar Nidom mengatakan, karakter penyebaran virus AI cenderung sama, dikarenakan adanya perubahan molekuler ketika terjadi penularan antar spesies. “Strategi vaksinasi masih merupakan strategi yang terbaik dilakukan dalam pengendalian AI saat ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Nidom juga mengungkapkan tentang hasil riset yang menunjukkan fakta bahwa 35-40% peredaran DOC yang melewati Bandara Sukarno – Hatta ternyata telah positif terinfeksi AI. Fakta ini harus dicermati peternak, dalam penanganan unggas yang dipelihara –yang bahkan belum dipelihara pun sudah menanggung beban terinfeksi AI.
Wabah di 2011 dipicu oleh beberapa sebab yang kompleks. Namun yang patut disoroti adalah para produsen vaksin AI yang melakukan inaktifasi virus AI. Tiap virus memiliki kadar inaktifasi yang berbeda-beda. Jika ada 1000 dosis yang diinaktifasi, dan ada prosesnya dilakukan dengan sembrono alias tidak sempurna, maka hal ini sangat berbahaya. Virus AI yang seharusnya sudah diinaktifasi ternyata belum mati -yang kemudian dijadikan vaksin. Ketika disuntikkan ke ayam untuk divaksin, justru memperparah kasus yang terjadi karena virus AI baru saja dimasukkan ke tubuh ayam.
Dalam memproduksi vaksin, Nidom menyarankan agar pabrik vaksin AI menggunakan virus AI dari virus lapang di Indonesia secara homolog.” Homolog yang dimaksud tidak hanya H nya saja, namun juga N nya. Jadi gunakan Virus yang subtipe nya baik H maupun N nya sama,” tandas Nidom. Jika H dan N nya berbeda, justru akan menyebarkan subtipe virus AI yang baru, yang berbeda dengan yang terjadi di lapang.
Nidom juga mengajak para praktisi perunggasan untuk mengkaji program vaksinasi AI yang selama ini dilakukan. Ia memaparkan hasil risetnya yang menunjukkan bahwa sejak 2003, virus AI telah menyimpang hingga menjadi 5 genotype, dengan sebaran virus terbesar adalah genotipe B dan C clade 2.1.3 yang mampu menginfeksi ayam, orang, kucing, babi, dan lain-lain.
Jadi, bagaimana vaksin AI yang dibuat dari virus generasi pertama bisa mengantisipasi virus yang telah bergeser hingga 5 genotype? Hal lain yang mesti dicermati yakni, Nidom telah melakukan riset tentang titer HI yang selama ini dianggap sebagai parameter keamanan program vaksinasi. Ia telah menguji titer HI ayam yang telah divaksinasi AI yang bisa mencapai log 7 atau 8 -harusnya sudah protektif. Namun uji netralisasi yang dilakukan, ternyata, nilainya 0. Jadi, pertanyaannya adalah, apa benar parameter keberhasilan vaksinasi AI addalah dengan melakukan uji HI?
Bioskekuriti, tambah Nidom, adalah salah satu cara yang bagus untuk mencegah penyebaran secara luas virus AI di suatu peternakan ayam. Namun, “siapa yang bisa menjamin DOC dan vaksin benar-benar terbebas dari kontaminasi? “ kata Nidom memberi pertanyaan retorika.
Melihat fakta betapa rawannya proses produksi vaksin, sangat diperlukan upaya khusus untuk pengendalian dan pemberantasan secara komprehensif.. Langkah-langkah yang perlu dilakukan yakni:
1. Perumusan pedoman biosekuriti yang lebih mudah diterapkan sesuai kondisi di lapangan, tanpa mengesampingkan tujuan dan efektivitasnya.
2. Monitoring dan evaluasi dinamika virus H5N1 perlu dilakukan secara terus menerus.
3. Evaluasi efektivitas vaksin AI yang beredar di lapangan perlu dilakukan dengan intensif dan berkelanjutan, karena kekebalan yang ditimbulkan sangat bervariasi. Vaksin yang beredar, kendati inaktif tidak dapat dijamin tidak adanya reasortment sehingga berpotensi berkembang kembali di daerah tersebut. Lembaga terkait (BBPMSOH) dari waktu ke waktu harus melakukan monitoring atas vaksin yang beredar.
4. Diperlukan mekanisme yang memungkinkan pelaporan kasus dari industri perunggasan semua sektor (I, II, III dan IV) secara terbuka, bila perlu dituangkan dalam bentuk peraturan.
5. Komitmen pemerintah lebih dituntut dari aspek penyediaan dana dan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengendalikan virus AI, karena penyakit ini punya potensi “zoonosis”. Komite kesehatan Unggas Nasional yang telah dibentuk perlu ditindak lanjuti dengan langkah-langkah konkrit.
6. Perlu ketegasan dari pemerintah mengenai jenis vaksin yang boleh digunakan untuk program vaksinasi di wilayah Indonesia dengan memperhatikan kaidah ilmiah biomolekuler virus AI. Ini sangat ditunggu pelaku industri perunggasan.
7. Perlu memperbaiki rantai distribusi produk unggas.
8. Perlu membangun sistem surveilans yang melibatkan semua komponen institusi penelitian milik pemerintah, bila diperlukan melibatkan pihak swasta.
9. Mendorong Pusvetma sebagai pusat masterseed vaksin yang siap menampung semua isolat lapang dan terbuka bagi semua industri vaksin untuk mangaksesnya.
Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) sebagai organisasi profesi mempunyai posisi strategis dalam memberikan solusi bagi terciptanya kebijakan pengendalian AI yang ideal sesuai kaidah keilmuwan kedokteran hewan. Sejalan dengan itu, semua pemangku kepentingan baik pemerintah, industri perunggasan maupun lembaga penelitian dan pengembangan mesti mempunyai komitmen (goodwill) untuk tercapainya pemberantasan AI, termasuk sistem pelaporan kasus AI yang terbuka dari semua pihak.