Livestockreview.com, Kampus. Penerapan kesrawan atau kesejahteraan hewan (animal welfare) pada transportasi ternak harus ditegakkan, apalagi hal itu sudah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Regulasi itu yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 95 Tahun 2012, yang mewajibkan antara lain dalam pelaksanaan transportasi ternak dilakukan dengan cara yang tidak menyakiti, melukai, dan atau mengakibatkan stres; menggunakan alat angkut yang layak, bersih, sesuai, dengan kapasitas alat angkut, tidak menyakiti, tidak melukai, dan atau tidak mengakibatkan stres; serta memberikan pakan dan minum yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis ternak.
“Tujuan transportasi ternak di antaranya adalah untuk disembelih, diperdagangkan, kegiatan olahraga, dipamerkan, budaya dan keagamaan atau rumah sakit hewan,” kata Dr Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc, Staf Pengajar Fakultas Peternakan IPB dalam Online Training Bertema Logistik Perunggasan yang dilaksanakan oleh Forum Logistik Perunggasan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Acara pelatihan yang berlangsung selama dua hari yakni pada 9-10 Juni 2020 lalu tersebut menghadirkan pula narasumber penting lain, yakni Sudarno, General Manager Logistic PT Sierad Produce.
Sebelum proses transportasi, penanganan pada saat pemanenan harus pula sesuai dengan prinsip kesrawan. Hingga kini masih banyak yang memindahkan ayam dari kandang ke alat transportasi dengan cara ditangkap dan dibawa dengan cara yang tidak benar. Rudi menguraikan, panen ayam broiler dengan menggunakan bantuan alat teknologi telah banyak dilakukan di negara maju dengan tujuan untuk mengurangi cekaman dan dampak buruknya. Di Indonesia saat ini masih menggunakan tenaga manual, yakni dengan tenaga manusia dengan cara ditangkap dan dibawa pada kaki dan kepala di bagian bawah.
Untuk pemanenan dengan cara seperti itu, Rudi menyarankan agar dilakukan dengan mengumpulkan dan menggiring ayam ke salah saru sudut agar mudah ditangkap, kemudian masing-masing tangan baik kanan dan kiri hanya membawa 2 ekor. Sementara itu, krat atau wadah ayam sudah ada di dalam kandang sehingga ayam bisa langsung dimasukkan ke dalam krat, tidak dijinjing terlalu lama. “Hal itu semua dilakukan untuk mengurangi tingkat cekaman yang dialami ayam,”jelas Rudi.
Dalam proses transportasi unggas, terdapat adanya risiko seperti adanya penurunan kualitas kesehatan ternak dalam jangka panjang, serta adanya susut dan kematian.
Susut artinya bukan hanya penurunan berat badan ternak tetapi juga kecacatan akibat dari adanya transportasi tersebut yang mana dapat mengurangi nilai jual atau kualitas ternak itu sendiri. Adapun untuk kematian unggas dalam kegiatan tersebut tidak selalu karena adanya perjalanan, namun juga karena penanganan yang dilakukan tidak semestinya baik saat persiapan transportasi atau saat penurunan setelah dilakukannya perjalanan.
“Standar susut dan mati berbeda tergantung dengan perusahaan. Umumnya 2-3 persen. Dan kejadian mati jarang terjadi kecuali ada kecelakaan tertentu. Kemudian untuk mati disebabkan karena penanganan bukan saat di perjalanan,” tambahnya.
Transportasi ayam merupakan proses dari 5 tahap, yaitu pre loading, loading, travelling, unloading, dan post unloading). Inventory lost (kehilangan) dapat ditentukan dari adanya cedera seperti memar, luka, patah fraktur, dislokasi sendi, lemah, sakit, susut bobot badan, dan kematian.
“Syarat transportasi ternak adalah ternak harus sehat. Lost seperti memar, luka, patah fraktur, dislokasi sendi bisa terjadi pada seluruh tahapan proses transportasi. Tetapi ayam menjadi lemah, susut bodon badan dan mati lebih banyak disebabkan proses perjalanan (travelling),” kata Rudi Afnan.
editor: apriliawati | sumber: flpi
follow our ig: www.instagram.com/livestockreview