Livestockrevew.com, Referensi. Indonesia masih menghadapi masalah gizi nasional yang ditunjukkan oleh rata-rata anak balita prevalensi gizi buruk 5,4% dan gizi kurang 13%. Cakupan masalah tersebut masih besar, karena sebanyak 19 propinsi di Indonesia melebihi angka tersebut. Asupan gizi pada anak-anak masih lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG), misalnya asupan protein yang masih rendah dari AKG. Agar bayi dan anak balita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, diperlukan zat gizi sesuai dengan kebutuhannya. Asupan protein hewani memegang peranan penting dalam pemenuhan gizi anak. Berdasarkan data tahun 2005, konsumsi protein hewani di Indonesia adalah 5.4 g/org/hari, masih sangat rendah dibanding konsumsi protein hewani di dunia, yaitu 23,9 g/org/hari.Program pemerintah pada RPJMN tahun 2009-2014 adalah menurunkan prevalensi gizi kurang dari 18,4% menjadi 15%. Di sisi lain, kecenderungan prevalensi gizi lebih juga terjadi baik pada balita maupun anak usia sekolah. Ahli teknologi pangan Prof. Dr. Aman Wirakartakusumah mengatakan, status gizi kurang akan mempengaruhi indeks pembangunan manusia, di mana saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 111 dari 182 negara. Pada periode usia bayi dan balita, zat gizi yang cukup, sangat diperlukan untuk pertumbuhan fisik seperti tinggi badan dan perkembangan otak. Zat gizi tersebut dapat diperoleh dari makanan yang cukup baik dalam jumlah dan kualitasnya.
Susu merupakan salah satu makanan yang potensial, karena mempunyai keunggulan diantaranya kandungan asam amino esensial, dan mineral (Ca, P, Mg, K). Selain itu, susu mempunyai kualitas protein yang baik yang ditunjukkan oleh daya cerna, skor asam amino, dan protein-efficiency ratio (PER). Meskipun demikian ASI merupakan pangan yang terbaik untuk bayi. Pemenuhan energi dan gizi untuk bayi berumur 0-6 bulan seharusnya dicukupi dari ASI saji. Namun setelah bayi berumur 6 bulan, kebutuhan energi dan gizi tidak dapat sepenuhnya dicukupi dari ASI.
Oleh karena itu, setelah usia 6 bulan mulai dikenalkan makanan pendamping ASI dan konsep keragaman pangan perlu ditekankan. Untuk masyarakat di Indonesia, konsumsi susu masih sangat rendah, yaitu 7,7 lt/kap/th (setara dengan 19 g sehari) atau sekitar 1/10 konsumsi susu di dunia. Banyak faktor yang berpengaruh, di antaranya adalah masih rendahnya produksi susu nasional, rendahnya daya beli dan budaya minum susu di masyarakat. Masyarakat sering berlebihan dalam menafsirkan manfaat produk susu akibat dari deceptive advertising, untuk itu diperlukan edukasi yang benar. Selama ini, konsumen memilih produk susu berdasarkan pertimbangan antara lain peruntukan produk sesuai usia anak, anjuran dokter anak, harga, pengaruh iklan, rasa, dan promosi hadiah. Oleh karena itu, program perbaikan gizi akan lebih efektif dan akan berkelanjutan jika diiringi program edukasi gizi dan pola makan yang sehat kepada masyarakat.
Dari segi ketersediaan sumber pangan susu, hingga saat ini produksi susu dalam negeri belum mampu mencukupi seluruh permintaan konsumen di dalam negeri karena peningkatan konsumsi susu relatif lebih cepat dibandingkan produksinya. Pada tahun 2009 produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi 25,11% dari total kebutuhan nasional. Penyebab rendahnya produksi susu tersebut karena tingkat pendidikan peternak yang rendah, harga pakan yang tinggi, keterbatasan teknologi, redahnya akses bibit sapi, dan keterbatasan modal peternak. Kekurangan produksi susu segar dalam negeri tersebut merupakan peluang besar bagi peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya sehingga dapat berperan dalam mengurangi angka impor susu. Upaya substitusi impor susu memerlukan dukungan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak (susu) kepada para peternak, serta memperkuat posisi tawar peternak sapi perah.
Selain itu perlu dilakukan penguatan terhadap wadah kemitraan yang memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu. Beberapa bentuk industri skala kecil dan menengah di berbagai daerah mampu menunjukkan bentuk kemitraan yang jujur dan menguntungkan dengan peternak. Dengan dukungan teknologi, perkembangan produk susu dewasa ini terbilang pesat, termasuk produk yang secara khusus diformulasikan untuk tumbuh kembang anak (usia di atas satu tahun). Dalam terminologi industri, produk ini disebut susu pertumbuhan atau secara internasional dikenal dengan istilah growing up milk (GUM). Di Indonesia, pertumbuhan produk Susu Pertumbuhan yang umumnya tersedia dalam bentuk bubuk cukup pesat. Berbagai produk Susu Pertumbuhan di pasaran Indonesia umumnya diperkaya dengan ingredient fungsional seperti asam lemak tertentu, probiotik, prebiotik (FOS/GOS), serta ingredient lain seperti vitamin dan mineral. Namun demikian, definisi legal dari Susu Pertumbuhan belum ada.
Sebelum adanya konsensus mengenai kategorisasi Susu Pertumbuhan, disarankan produk pangan tersebut tetap termasuk dalam kategori 01.0 (susu dan produk olahannya). Namun jika tersedia bukti ilmiah tentang manfaat komponen fungsional tertentu maka pangan ini dapat dikelompokkan sebagai pangan fungsional sesuai dengan regulasi yang berlaku. Terdapat perbedaan pengelompokkan umur berdasarkan acuan label gizi, angka kecukupan gizi, codex dan SNI. Dengan demikian, diperlukan harmonisasi untuk mencapai konsensus tentang pengertian “Susu Pertumbuhan”. Konsensus mengenai definisi dan kategorisasi Susu
Pertumbuhan ini penting, baik bagi pemerintah (pembina dan pengawas), industri (pelaku) maupun konsumen (pengguna). Konsensus tersebut akan lebih menjamin konsumen dan masyarakat luas untuk mendapatkan informasi yang benar sehingga mampu melakukan pilihan dengan lebih baik. as/rls