Livestockreview.com, Referensi. etelah setahun lebih menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan, yang beredar pada 2011, tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda dari temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii. Publik pun mendesak Pemerintah mengumumkan merek susu itu, sesuai instruksi Mahkamah Agung 10 April 2010.
Menkes bergeming, mengingat pengumuman merek dan produk tertentu yang tercemar bakteri itu bisa menimbulkan dampak besar secara ekonomi, sosial, bahkan politik. Betapa tidak? Secara ekonomi, nilai penjualan susu mencapai Rp 6 triliun/ tahun, Rp 2,5 triliun di antaranya dikuasai oleh susu formula kelas premium. Selain China, Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar dengan sekitar 24 juta balita. Dengan alasan tidak memiliki data, pemerintah melakukan survei ulang untuk menjawab penggugat David Tobing dan masyarakat.
Sejatinya, kontroversi bakteri E Sakazakii bukan persoalan baru. United States Food and Drug Administration (USFDA) menemukan kontaminasi susu formula di sebuah negara: dari 141 produk terdapat 20 (14%) kultur positif E sakazakii. Kendati demikian, kasus bakteri E sakazakii sangat jarang dan tidak seberbahaya yang diperkirakan. Belum ada laporan bayi sehat yang terinfeksi bakteri ini, kecuali bayi berdaya tahan lemah seperti bayi prematur. Namun, ibu-ibu memang harus menyadari, susu bukanlah produk aman, terutama untuk bayi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan susu bubuk formula bayi bukan produk komersial steril, memicu obesitas, dan tambahan nutrisi berupa asam lemak sulit dicerna bayi usia di bawah 6 bulan. Ini berbeda dari BPOM yang menyebutkan susu bubuk komersial aman. Hal itu mendorong meningkatnya konsumsi susu formula. Promosi yang cenderung berlebihan, bagaimanapun telah memberikan bias informasi. Survei Demografi dan Kesehatan mencatat, konsumsi susu formula meningkat dari 15% (2003) menjadi 30% (2007).
Seiring dengan itu, hak-hak utama bayi terabaikan. Kecenderungan ibu-ibu memberi susu formula untuk bayi menjadi pilihan. Rata-rata bayi hanya memeroleh ASI eksklusif 1,7 bulan, dan hanya 14% bayi mendapat ASI hingga usia 4 bulan. Pemberian ASI satu jam setelah kelahiran pun menurun dari 8% menjadi 3,7%, enam bulan menurun dari 42,2% ke 39,5%. Padahal 30 ribu kematian bayi per tahun bisa dicegah melalui ASI eksklusif selama enam bulan, dan menghindari konsumsi susu formula pada awal kelahirannya.
Pemerintah jangan terjebak dan tergiur angka-angka keekonomian. Promosi belebihan susu formula bayi harus dihentikan. Kita juga mendorong rencana Kemenkes melarang penjualan susu formula 0-6 bulan. Jadikan ASI eksklusif sebagai prioritas program, dan gencarkan lagi kampanye untuk membuka kesadaran masyarakat, terutama ibu-ibu mengenai pentingnya memberi ASI dan sentuhan kasih sayang untuk buah hatinya. Pertumbuhan dan perkembangan anak sejak balita menjadi kunci, karena mereka adalah masa depan bangsa. follow our twitter: @livestockreview
sumber: suara | editor: ria laksmi