Livestockreview.com, Bisnis. Ternak berkaki empat atau istilahnya ruminansia (sapi, kambing, domba) menghasilkan gas metana yang keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak. Para peneliti mengatakan, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.
Ketika dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, gerakan mengurangi makan daging menjadi gerakan yang populer. Para aktivis lingkungan mendesak masyarakat untuk mengurangi makan daging untuk menyelamatkan lingkungan. Beberapa aktivis bahkan telah menyerukan pemberlakuan pajak atas daging untuk mengurangi konsumsi daging.
Dalam hal ini, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) telah menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung. Hal itu mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang focus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.
Memperhatikan permasalahan tersebut, dan mempertimbangkan pentingnya peternakan bagi penghidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global, serta mengingat perannya dalam aspek sosial, ekonomi dan ketahanan pangan, maka kalangan masyarakat peternakan harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi ini. Terlebih, skala masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif permasalahan di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju.
Atas hal itu, Ikatan Sarjana PEternakan Indonesia (ISPI) sebagai organisasi yang menaungi para sarjana peternakan, memiliki kewajiban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai basis utama dalam kegiatan peternakan, baik itu dalam kebijakan ataupun usaha komersil. Bekerja sama dengan Northern Territory Cattlemen’s Association (NTCA) dan Red Meat and Cattle Partnership, ISPI menyelenggarakan Seminar tentang dampak peternakan sapi bagi lingkungan di Jakarta pada 27 Januari 2020. Hadir dalam acara itu para narasumber: Pebi Purwosuseno yang mewakili Ditjen PKH, Dr Panjono, IPM (Fapet UGM), CEO NTCA Ashley Manicaroos, Kieran Mc Cooskee d(Department Primary Industry, Northern Teritorry Government) dan M Pribadie Nugraha dari Meat & Livestock Australia (MLA).
Suistain and suistainability adalah merupakan wajah peternakan Indonesia di masa depan, oleh karena itu diskusi–diskusi seperti hari ini yang kemudian ditindaklanjuti dalam penelitian serta implentasi lapangan adalah tugas sarjana peternakan. Pebi Purwosuseno selaku perwakilan Dirjen PKH Kementan mengatakan bahwa sektor peternakan muncul sebagai salah satu kontributor bagi masalah lingkungan. Temuan ini mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.
Memperhatikan permasalahan tersebut, lanjut Pebi, perlu mempertimbangkan pula pentingnya peternakan bagi penghidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global, serta mengingat perannya dalam aspek sosial, ekonomi dan ketahanan pangan, maka kita harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi ini. Terlebih, skala masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif permasalahan di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju.
“Terwujudnya produk peternakan Indonesia yang berdaya saing dan berkelanjutan, dan ini telah secara eksplisit diterjemahkan ke dalam startegi utama yang selalu mengedepankan konsep keberlanjutan dalam langkah-langkah operasionalnya,” kata Pebi.
follow our ig: www.instagram.com/livestockreview
editor: sugiono | sumber: ispi