Livestockreview.com, Berita. Perubahan iklim di Indonesia yang kini mencapai rata-rata 0,4-1,2 derajad celcius memberi dampak nyata terhadap pemenuhan kebutuhan pakan pada industri peternakan unggas. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Pakan Ternak (GPMT) Sudriman mengatakan, paling tidak ada tiga hal utama efek perubahan iklim terhadap industri pakan ternak Indonesia. “Perubahan iklikm berefek nyata pada masalah ketersediaan bahan baku pakan,kualitas bahan baku,serta penyimpanan dan bahan baku pakan ternak,”jelas Sudirman dalam sebuah diskusi yang digelar Poultry Indonesia di Jakarta pada 16 Desember ini.
Akibat cuaca yang tidak menentu, terjadi keterbatasan suplai bahan baku pakan seperti jagung, kedelai, bungkil kedelai, bekatul dan gandum. Hal ini disebabkan banyak petani di berbagai belahan dunia yang gagal panen.
“Pengaruh nyata ada pada harganya yang membumbung. Terlebih pada saat bukan musim panen. Tahun ini ini misalnya, bekatul harganya Rp 800 per kg saat panen, namun saat tidak panen harganya Rp 2200 Kini.”
Dalam hal kualitas bahan baku pakan, iklim yang menyebabkan suhu panas dan dingin yang berfluktuasi secara ektreem, menyebabkan penurunan kualitas bahan baku pakan. Kontaminasi virus, bakteri dan jamur semakin besar pun semakin besar. Demikian juga cacat fisik dan umur bahan baku yang makin pendek. Bahan baku pakan utama yang harus ada adalah jagung. Perubahan iklim berakibat nyata pada penanaman jagung oleh petani di Lampung. “Jagung dari lampung adalah yang paling buruk kualitasnya, dengan kadar air saat dipanen 50%,” kata Sudirman.
Perubahan iklim juga berakibat buruk pada masalah penyimpanan dan transportasi. Dulu, ketika jagung disimpan di silo, sudah aman. “Kini, kita harus ekstra hati-hati. Harus selalu mengontrol suhu di dalam, tengah, pinggir. Karena jika tidak dikontrol, akan sangat berbahaya jika ada gangguan kualitas di bagian dalam silo tersebut. Demikian juga dengan masalah transportasi. Transpotasi bahan baku pakan dari sentra pertanian dulu tidak masalah. “Kini karena ada banjir, curah jujan tinggi dan jalan rusak menjadi biaya tinggi untuk transportasi ini,” tandas Sudirman.
penulis: durianto | editor: sugiyono