Livestockreview.com, Profil. Orang Minangkabau identik dengan budaya merantau, baik untuk mengadu nasib di ranah bisnis maupun melanjutkan pendidikan tinggi. Namun, setelah meraih gelar sarjana, tidak banyak yang kembali pulang ke kampung.
Adalah Perdana Agusta, yang akrab disapa Agung, anak muda asli Minang lulus jurusan IT (information technology) dari luar negeri pada 2004 tersebut mengungkapkan untuk tidak harus bekerja sesuai jurusan. “Kuliah itu tempat pembentukan pola berpikir,” katanya. Usai lulus, di pikirannya terus berkecamuk bahwa yang menjadi hasrat hidupnya bukanlah bekerja di bidang IT murni, tetapi berbisnis.
“Kuliah itu bukan serta merta harus bekerja sesuai dengan apa yang kita pelajari. Kuliah itu untuk membangun karakter. Pembentukan pola kita berpikir, kita belajar untuk ambil keputusan, bagaimana riset, dan mengembangkan karakter diri.”
“Karena di luar negeri sendiri kehidupan orang stagnan sebenarnya. Jadi, dengan penghasilan besar, biaya hidupnya juga besar. “Lebih mungkin untuk kaya di daerah. Kalau di Jakarta terlalu banyak persaingan. Di daerah (Payakumbuh) potensinya besar, tetapi tidak dilirik banyak orang,” tutur Agung.
Ketertarikannya beternak ayam petelur muncul setelah Agung berbisnis obat hewan ternak.
Melihat banyak orang yang beternak ayam petelur di Payakumbuh. Agung pun mulai membuka bisnis penjualan obat untuk hewan.
Dua tahun menjalani bisnis ini membuatnya kerap bertemu peternak ayam. Pada 2007, Agung membeli sebuah peternakan ayam yang memiliki 60.000 ekor ayam petelur produktif.
Di delapan peternakannya, Agung memiliki total 500.000 ekor ayam, berkata,”Kalau dagang biasa, kita hanya berhubungan dengan pelanggan. Kalau jadi peternak, kita juga berhubungan dengan makhluk hidup lain, yang kompleks pemeliharaannya, saya jadi tertarik, tertantang.”
Titik balik bisnis ayam petelur ini terjadi pada tahun 2008, ketika dia ingin mencari cara bagaimana agar produktivitas telur melonjak.
Setelah riset panjang ditambah kunjungan ke Malaysia dan Thailand, Agung menyimpulkan dia harus mengubah peternakan tradisionalnya menjadi peternakan teknologi tinggi, dengan sistem serba otomatis. Di sinilah pendidikan masa kuliahnya terpakai. Dia mengaku “tidak mengalami kesulitan” untuk menggunakan teknologi yang diimpornya dari Jerman.
Dengan menggunakan mesin, pakan ayam yang tumpah bisa diminimalisasi.”Di Sumatera Barat, kami yang pertama menggunakan sistem peternakan otomatis ini. Bahkan di seluruh Indonesia baru 3-5% yang menggunakan sistem otomatis.”
Dengan sistem otomatis, suhu kandang ayam bisa diatur optimal untuk bertelur (18-20 derajat Celcius) dan pemberian pakan dilakukan oleh mesin “sehingga lebih sedikit pakan yang terbuang”.
Dengan menggunakan teknologi, suhu kandang bisa diatur sehingga ayam bertelur secara optimal.
“Produktivitas meningkat drastis. Untuk ternak tradisional, di lahan dua hektar misalnya, hanya punya populasi 40.000 ekor ayam. Tapi kalau di sini (sistem otomatis), lahan dua hektar bisa menampung 350.000 ekor ayam.” Alhasil, Agung bercerita, setelah menggunakan teknologi otomatis profitnya meningkat sampai 100%.
Agung adalah orang pertama di Sumatera Barat yang menerapkan sistem peternakan otomatis.
Saat ini, sebagai salah satu peternak ayam petelur terbesar di Payakumbuh, Agung memiliki 500.000 ekor ayam di delapan peternakan, dengan produksi 400.000 butir telur per hari.
“Omzetnya sekitar Rp13 miliar rupiah sebulan.”
Pengumpulan dan penyeleksian telur juga berlangsung secara otomatis. Pasarnya pun tak tanggung-tanggung. Selain menyalurkan telur secara lokal, 60% telur yang diproduksi peternakan Agung, dikirim ke Jakarta.
Agung pun teringat masa-masa ketika dia masih dipandang sebelah mata. “Bagi orang Minang, selorohnya itu, ‘Kamu jauh-jauh sekolah, tapi ujung-ujungnya ternak ayam kayak yang lain’.
“Tapi satu hal yang membuat saya berbeda adalah, meski sama-sama ternak ayam, saya produksi dan jual dengan cara berbeda, berdasarkan pengalaman yang ditempa. Konsepnya berbeda. Dan sekarang terlihat, hasilnya juga berbeda, terbukti,” tutup Agung.
sumber: bbc | editor: soegiyono