Livestockreview.com, Berita. ‘Perdalam agroindustri untuk hela pertumbuhan’ merupakan suatu ‘jargon’ yang sudah sering didengar, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Sub sektor peternakan mempunyai peran yang sangat strategis dalam agroindustri nasional, karena terbukti bahwa permintaan produk peternakan terus meningkat setiap tahun. Hal ini tentunya seiring dengan pertambahan penduduk yang mencapai 1,4%/tahun dan perkembangan perekonomian nasional.Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) mencatat, PDB sub sektor peternakan mencapai Rp.35,5 trilyun (atas dasar harga konstan) pada tahun 2009 yang secara konsisten meningkat dari tahun 2004-2008 sebesar 2,45%/tahun. Hal ini memang masih dibawah rata-rata pertumbuhan nasional yang mencapai 6% pada tahun 2010. PDB sub sektor peternakan memberikan kontribusi terhadap 12,5% terhadap PDB sektor pertanian, dimana share sektor pertanian terhadap PDB nasional sebesar 13,7%.
Di sisi lain, rumahtangga usaha peternakan berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003 berjumlah 5,6 juta, atau sebesar 23,6 juta jiwa dengan rata-rata anggota RT adalah 4,2 orang. Hal ini mengalami kenaikan sebesar 15,7% jika dibandingkan dengan jumlah RT petani hasil sensus tahun 1993. Dalam hal produksi daging, totalnya mencapai 2,18 juta ton, mengalami peningkatan sebesar 2,1% dari tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar produksi daging adalah ayam ras pedaging (40,3%), sapi dan kerbau (20,4%), ayam buras (13%), babi (10%) serta domba dan kambing (5,7%). Adapun total produksi telur, sebesar 1,4 juta ton, mengalami peningkatan sebesar 6,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar produksi telur adalah telur ayam ras (72,2%), itik (15,4%) dan ayam buras (12,4%). Untuk susu, total produksinya mencapai 0,68 juta ton yang berasal dari sapi perah dan mengalami peningkatan sebesar 4,9% dari tahun sebelumnya.
Dalam hal konsumsi protein hewani, Catatan ISPI menunjukkan, konsumsi daging, telur dan susu menurun selama setahun terakhir (2007 ke 2008). Daging dari 8,37 kg/kapita/tahun menjadi 7,75 kg/kapita/tahun,telur dari 20,64/kg/kapita/tahun menjadi 17,42 kg/kapita/tahun. Untuk susu, konsumsinya menurun dari 7,12 kg/kapita/tahun menjadi 6,92 kg/kapita/tahun.
Kinerja ekspor produk peternakan berasal dari bahan pangan, bahan non pangan dan obat hewan tercatat bernilai US$ 1155 juta pada tahun 2008, mengalami peningkatan sebesar 205%. Peningkatan ini sebagian besar berasal dari obat hewan, bahan pangan dan kulit. Perkembangan nilai impor yang berasal dari ternak dan hasil ternak juga mengalami peningkatan menjadi US$ 1866,6 juta dari US$ 1386,5 juta atau sebesar 34,6%. Neraca ekspor dan impor mengalami penurunan cukup signifikan, yakni 29,5%.
Tantangan di 2011
Fakta-fakta di atas industri peternakan harus sigap menghadapi berbagai tantangan dalam memasuki 2011 ini. Beberapa tantangan itu yakni:
– Laju inflasi masih cukup tertekan dengan prediksi masih akan buruknya kondisi iklim yang berdampak terhadap harga pangan dunia karena produksi yang tidak seimbang dengan permintaan. Harga komoditas pangan dunia juga masih memiliki kecenderungan meningkat. Didalam negeri, penerapan kebijakan pengaturan BBM bersubsidi yang akan mulai dilaksanakan kuartal pertama turut mendongkrak laju inflasi tersebut. Sebagai kilas balik, pemerintah memproyeksikan inflasi tahun 2010 sebesar 5,3%, namun kenyataannya mencapai level 6,5%. Diprediksikan laju inflasi berada pada kisaran 6 – 6,7% pada tahun 2011.
– Infrastruktur dan interkoneksi (transportasi) yang kurang memadai dapat menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan mengurangi daya saing bisnis peternakan. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di posisi terbawah yakni dengan peringkat 55 dari 58 negara.
– Efisiensi kualitas birokratisasi dalam menciptakan good governance yang belum optimal, sehingga penerapan kebijakan pemerintah banyak yang tidak konsisten lintas sektoral. Kebijakan politik pertanian, khususnya peternakan sangat diperlukan dalam upaya mendorong peningkatan produktivitas.
– Masih rendahnya dukungan terhadap akses pembiayaan/permodalan untuk usaha peternakan. Pemerintah masih kurang memberikan insentif bagi pengembangan sektor usaha peternakan, khususnya untuk usaha kecil dan menengah. Kredit perbankan yang dikucurkan untuk sektor manufaktur hanya berkisar 16%, relatif jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor konsumsi, sehingga penciptaan lapangan kerja memang masih jauh dari harapan.
Beberapa saran penting
Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, dan masih terus bertambah, sudah selayaknya Indonesia segera mampu mewujudkan ketahanan pangan hewani secara berkelanjutan. Pangan hewani sangat penting untuk mewujudkan manusia Indonesia yang tangguh, mampu menghadapi persaingan global yang semakin terbuka. Ketahanan pangan hewani harus diwujudkan berbasis sumberdaya lokal, inovasi yang ramah lingkungan, dan sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja bagi petani, peternak dan sarjana peternakan. Ketahanan pangan ke depan harus seirama dengan kemandirian dan kedaulatan pangan. Perdagangan bebas yang belum berkeadilan harus kita respon dengan mendorong agroindustri berbasis iptek, dengan memperhatikan dan memanfaatkan kearifan tradisional.
Pembangunan peternakan dari yang awalnya peningkatan produksi, harus lebih di arahkan menuju ke peningkatan partisipasi, produktivitas tenaga kerja dan faktor produksi peternakan dengan tujuan yang bermuara pada peningkatan pendapatan petani dan masyarakat pedesaan.
Hal lain yang sangat perlu ditekankan disini yakni peningkatan iklim investasi yang kondusif dimana hal ini merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan daya saing produk peternakan. Kualitas investasi yang mumpuni dapat memberikan perusahaan-perusahaan peternakan lebih berkompetitif, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan dan menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. follow our twitter: @livestockreview
sumber : Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia | penulis & editor: soegiyono