LIvestockreview.com, News. Sejumlah pelaku bisnis olahan daging domestik menilai Peraturan Menteri Pertanian No. 84 Tahun 2013 Pasal 9 yang memberi peluang impor produk daging olahan dapat mengancam industri pengolahan daging dalam negeri. Dalam regulasi yang diterbitkan September 2013 tersebut terdapat 2 pasal yang saling bertentangan.
“Di satu sisi, Permentan ini ingin melindungi peternak sapi dalam negeri, tapi di sisi lain memberi karpet merah bagi masuknya daging olahan berbahan baku daging yang berasal dari negara PMK seperti India,” jelas Franky Sibarani, pengurus Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi).
Adapun Permentan Pasal 9 itu berisi tentang pemasukan daging, karkas, jeroan dari negara yang belum bebas PMK, vesicular stomatitis (VS) dan swine vesicular disease (SVD) dapat dipertimbangkan sebagai negara asal pemasukan daging olahan dengan syarat: telah dipanaskan lebih dari 80 derajat Celsius selama 2-3 menit, dan berasal dari daging yang telah dilayukan sehingga pH daging di bawah 5,9.
Sebaliknya, pada Pasal 7 berisi tentang bahan baku daging yang masuk Indonesia dipersyaratkan harus bebas dari PMK. Dengan demikian Indonesia hanya bisa mengandalkan pasokan daging sapi untuk industri dan konsumsi dari Australia dan New Zealand yang harganya dua kali lipat lebih mahal dari harga daging sapi India.
Menurut Franky, pangan olahan di negara-negara Asean banyak menggunakan daging dari India yang belum bebas PMK, seperti Malaysia. Setelah mengolah daging sapi dari India, Malaysia kemudian mengekspor produk daging olahan ke Indonesia dengan harga yang lebih murah.
follow our twitter: @livestockreview
sumber: b1sni5 | editor: sugiyono